Menjadi Dewasa atau Mati
Seorang profesor menemukan sebuah komputer yang sangat canggih, super hebat bahkan segala informasi yang ada didunia dapat disimpan di dalamnya. Maka mulailah Si Professor memasukkan segala informasi yang ada, berbagai buku dari seluruh dunia di scan lalu di input juga tak lupa rekaman berita dirubah ke dalam file AVI dan Mpeg, saking detilnya informasi yang dimasukkan bahkan seorang anak kecil yang kentut di ujung Benua Afrika-pun di catat dan dimasukkan ke dalam komputer.
Setelah bertahun-tahun bekerja keras Sang professor merasa cukup telah memasukkan segala sesutu tentang apapun ke dalam komputer ciptaannya diapun mulai memasukkan sebuah pertanyaan yang menghantuinya selama ini yaitu "Apakah makna kehidupan?"
Berdebar-debar Sang Professor menunggu proses yang dilakukann komputernya sampai setelah beberapa saat keluarlah hasilnya...begini jawab Si Komputer super canggih "Makna kehidupan adalah......anda fikirkan saja sendiri!". Lalu komputer tersebutpun kolaps, hang dan akhirnya crash dengan kemungkinan sangat kecil dapat diperbaiki kembali.
-----------
Pada dasarnya manusia memiliki tiga macam jenis bahan memori menurut Umberto Eco, yang pertama terbuat dari darah dan daging yang mana pengaturannya dilakukan oleh otak. Kedua, memori yang berasal dari mineral atau bahan tambang, di mana zaman dahulu manusia menuliskan atau merekam kejadian sehari-hari atau yang di alaminya di atas bebatuan dan kita mengenalnya sebagai prasasti. Saat inipun juga dikenal memori yang terbuat dari bahan tambang yakni komputer di mana bahan dasarnya adalah termasuk di dalamnya silikon. Sedangkan ketiga adalah memori yang disimpan dari bahan dasar tumbuh-tumbuhan, seperti papirus daun lontar dan buku dengan kertas yang berasal dari kayu.
Ketika dahulu teknologi belum begitu maju, memori yang didapat dari informasi sekitar manusia disimpan hanya di dalam otaknya, walaupun kabarnya otak merupakan bagian tubuh yang dapat mengalahkan komputer tercanggih buatan manusia saat ini namun pada kenyataannya manusia sering kali dikalahkan oleh hukum alam yang disebut "lupa".
Sampai suatu saat dalam perjalanan sejarah manusia seseorang menemukan ide untuk menuliskan memorinya ke atas sebuah media, dan batu menjadi pilihan pertama. Selain batu memang ada di mana mana, batu juga sangat kuat dibanding apapun pada saat itu. Pada perkembangannya manusia terus mengembangkan sebuah media dengan bentuk yang simple namun dapat memuat memori dengan jumlah yang bila dituliskan di atas batu mungkin akan menghabiskan sebuah bukit.
Disinilah perpustakaan memiliki sebuah peran penting, "Libraries, over the centuries, have been the most important way of keeping our collective wisdom. They were and still are a sort of universal brain where we can retrieve what we have forgotten and what we still do not know. If you will allow me to use such a metaphor, a library is the best possible imitation, by human beings, of a divine mind, where the whole universe is viewed and understood at the same time. A person able to store in his or her mind the information provided by a great library would emulate in some way the mind of God. In other words, we have invented libraries because we know that we do not have divine powers, but we try to do our best to imitate them" begitu kata Umberto Eco tentang perpustakaan.
Intinya karena tidak ada sepotong media dalam bentuk apapun dapat menampung semua memori yang dimiliki manusia maka dibutuhkan sebuah media untuk mengumpulkan pelbagai memori yang tersebar itu dalam sebuah tempat, dan tempat itu adalah perpustakaan. Namun, bila semua sudah terkumpul lalu apa? Pernahkah anda merasakan berdiri ditengah-tengah ruangan yang dipenuhi banyak sekali buku-buku dengan berbagai macam informasi di dalamnya, sedangkan yang hanya anda butuhkan sebuah jawaban akan pertanyaan yang sepertinya mudah. Bila kejadiannya memang begitu, bahkan pustakawanpun hanya bisa sedikit membantu, lagian pustakawankan juga manusia.
Saya pernah, bahkan setiap hari ketika menghadapi internet, merasakan hal itu. Sebuah perpustakaan elektronik terbentang luas di depan saya. Tinggal mengetik apa yang ingin dicari di atas key board dan jawabannya akan muncul di monitor....dengan kesesuaian data sebesar 65780 hits!! Masih teringat di dalam kepala saya bahwa terlalu banyak informasi akan membunuhmu maka sebelum akhirnya informasi-informasi itu membunuh saya sebaiknya saya harus lebih selektif memilah-milah apa yang benar-benar saya butuhkan.
Akhir-akhir ini di televisi sangat ramai dengan kasus formalin, belum selesai formalin dibahas muncul lagi soal bakso tikus. Ditambah lagi soal kueh-kueh yang katanya banyak dicampur dengan zat pewarna tekstil. Pertanyaannya, sejauh mana seharusnya saya menyikapi hal tersebut? Bagai buah simalakama memang, bila saya memilih untuk tidak perduli maka sama saja saya membunuh diri ala Indonesia dengan cara yang pelan namun sistematis. Bagaimana tidak sistematis bila kabarnya hampir semua jenis makanan yang mampu saya beli mengandung racun. Bahkan jajan bakso dan bakmi adalah sebuah kebiasaan rutin yang pada umumnya Orang Indonesia lakukan. Namun bila saya memilih untuk menjauhi makanan-makanan yang dicurigai racun, maka apa yang harus saya makan?
Hal di atas menimbulkan berbagai jenis dalam menyikapi berita media seperti apa yang terjadi pada diskusi hangat dalam sebuah milis. Ada yang memilih untuk tidak memperdulikan sama sekali dengan yang ramai diberitakan, bahkan masih dengan lahap memakan bakmi dan bakso seperti biasa. Buat mereka media tidak objektif dan cenderung menjadikan informasi (yang pada akhirnya akan menjadi memori) sebagai komoditas pengejar rating dan peraup iklan. Namun di lain fihak banyak juga penyimak media yang langsung berubah 180 derajat terhadap makanan-makanan yang dicurigai, paling tidak sampai isunya mereda dan akhirnya terlupakan.
Namun ada sebuah pendapat yang saya salut ketika dilontarkan oleh seorang teman, kebetulan teman saya itu bekerja di Litbang Depkes, katanya "bila media tidak objektif, maka kita justru yang harus lebih cerdas dan objektif dalam memilih informasi yang digulirkan media". Pada titik tertentu memang saringan itu ada dalam diri seseorang, dan bila berbicara masyarakat maka saringan berbagai informasi kembali kepada masyarakat itu sendiri.
Lalu apakah media dengan akan terus-terusan mengkomoditaskan beritanya?....Sebuah resiko peradaban yang tidak lagi menuliskan memori mereka di atas batu atau papirus dan daun lontar memang. Dimana bila tidak secara dewasa atau bila memakai kata teman saya lebih objektif, dalam menyikapi berita...maka pilihannya adalah mati.....kehancuran sebuah peradaban.
Pict from corbis
0 Comments:
Post a Comment
<< Home