Nollaig 21, 2005

Yang tersisa, haruskah dibuang?


Sering kali kalau saya maen ke rumah orang tua maka akan mengomentari perabotan rumah tangga yang usianya sudah cukup uzur. Dari lemari sampai meja makan dan bila melongok ke gudang maka akan melihat tumpukan barang-barang, termasuk boks bayi tempat saya tidur dulu, di sana.

Barang-barang kuno yang bila mendapatkan sedikit rezeki tidak ada salahnya digantikan dengan yang lebih baru, selain tentunya menghemat tempat daripada ditumpuk begitu saja juga memperindah suasana rumah agar tampak lebih modern.

Orang tua saya namun tidak begitu sependapat. Beberapa barang di rumah sebisa mungkin dipertahankan walaupun sepertinya memenuh-menuhi tempat dan menambah kesan kuno rumah saya yang memang sudah tampak kuno dibanding para tetangga.

Setiap benda memiliki sejarahnya sendiri di mata orang tua saya, contohnya boks bayi tadi. Memang saat ini sedang teronggok di gudang namun ayah saya terutama berharap bila nanti memiliki cucu juga dapat memanfaatkan boks tersebut. Selain itu boks bayi yang terbuat dari kayu jati asli pada tahun 80-an menjadi modal ibu saya yang memang berprofesi sebagai bidan dan buka praktek di rumah. Yang paling penting di mata orang tua saya, boks bayi itu adalah tempat di mana anak-anaknya dahulu bermimpi ketika baru lahir.

Ada saja cerita-cerita di balik benda di rumah saya, bagaimana dulu kata ayah saya kursi yang sampai sekarang masih digunakan menjadi maenan becak-becakan tentunya kursi yg dirancang hanya untuk duduk menimbulkan bunyi yg melengking akibat gesekan kayu dan ubin. Meja tamu yang saat ini saya boyong ke rumah kontrakan juga menjadi saksi ketika beberapa malam dahulu sering dihabiskan kami sekeluarga di teras depan rumah sambil bercakap-cakap.

Saya tidak begitu perduli dan kurang bisa menghargai apa artinya sebuah benda di rumah orang tua. Buat saya kursi ya kursi fungsinya hanya untuk duduk, dan bila sudah rusak dibuang saja. Sampai akhirnya dua tahun belakangan ini saya menikah.

Saya merasa menjadi semakin mirip saja dengan orang tua saya dalam mengatur rumah. Bila anda berkunjung ke sini maka anda akan menemukan empat buah printer. Tiga deskjet dengan merk yang berbeda dan satu buah printer pita dari semuanya hanya satu yang masih berfungsi dengan baik.

Masing-masing printer memiliki kisahnya sendiri, sebuah printer dibeli dengan uang yang didapatkan ketika isteri saya, waktu itu mahasiswa di FKMUI, mendapatkan beasiswa berupa tunjangan seperangkat komputer lengkap dengan printernya. Sedangkan printer pita yang juga bawaan isteri saya adalah "pinjaman" dari kakak ipar. Satu lagi printer rusak yang tersisa adalah warisan dari kenang-kenangan saya ketika dahulu membuka usaha rental komputer di daerah Kober dan Margonda dengan nama Abhicom. Saat ini sehari-harinya saya menggunakan printer yang kami beli di Kota jadi, bagaimanapun, printer tersebut juga memiliki kisah sebagai printer pertama kami setelah menikah. Oh ya selain printer di atas lemari kamar saya juga teronggok satu monitor juga kenang-kenangan dari yang tersisa pada Abhicom, dan hanya Allah SWT saja yang tahu ada apa lagi di atas lemari kamar saya itu.

Empat printer dengan satu PC, lucu ya? Tapi ya itulah, rasa-rasanya begitu berat bila membuang benda-benda itu, memang sudah tidak lagi berfungsi namun nilai dan kenang-kenangan di baliknya sangat sulit untuk dilupakan. Suata saat saya mungkin akan, tidak bisa tidak, harus memutuskan untuk membuangnya, namun semua orang disekitar saya pasti tahu betapa sulitnya untuk melakukan hal itu.

Begitu juga dengan Si Merah AKA Si Semok AKA Si Bambang AKA Si Lemoh, Botoh atau Geboy, scooter merah merk Vespa yang saya beli lima tahun lalu. Tidak ada yang menarik memang bila di lihat-lihat, bodinya saja penyok di sana-sini, dan walaupun mesinnya tidak begitu rewel namun bila kejadian mogok di jalan maka akan setengah mati mendorongnya. Belum lagi bila tiba-tiba ban belakang kempes, rasa-rasanya ingin saya tinggal saja tuh dipinggir jalan Si Semok...eh maksudnya Si Merah.

Si Merah memang tidak seganteng Nicholas Saputra yang baru saja memenangkan aktor terbaik dalam film Gie. Namun buat saya ketika ada yang menawar untuk membayarnya kok rasa-rasanya berat juga ya. Memang sih, sejak ada Si Angin Jihad Si Lemoh jadi seperti menuh-menuhin teras depan kontrakan saya yang memang sudah sempit bilapun tanpa motor,...tapi ya itu tadi rasa-rasanya apa yang orang tua saya rasakan terhadap kursi-kursi tuanya di rumah mulai merasuki hati ketika saya melihat Si Lemoh itu.

Bila dingat masa lalu Si Lemoh adalah kendaraan yang berjasa dalam proses perkenalan saya dan isteri yang hanya memakan kurang lebih 3-4 bulan saja sampai akhirnya ke pelaminan. Menemani saya dari ta'aruf sampai beranjang sana mengantarkan rancangan undangan pernikahan ke rumah (waktu itu masih calon) isteri. Saat ini Si Lemoh berubah fungsi menjadi alat pengangkut aqua galon, belanjaan bulanan dan apa saja yg Si Angin Jihad tidak dapat melakukannya.

Seperti apa yang saya katakan semalam pada isteri, Si Merah bukan lagi nominal yang menjadi takarannya namun nilai, manfaat dan historis bahkan sentimentil lah, dan itu berati harganya untuk saat ini masih sangat sangat mahal. Bayangkan, Vespa saat ini terutama sejak issue motor 2 tak tidak lagi boleh melewati Jalan Sudirman untuk 2,5 juta rupiah saja, Anda tentunya tidak akan menyangka saya melepaskan kenangan (dibungkus logam dengan merk Piagio) bukan? Tidak tahu bila nanti sedang kepepet dan butuh uang mungkin dilepas juga.

....bagaimana bila ditawari tukar dengan Yamaha Fazer 250 cc?



0 Comments:

Post a Comment

<< Home