Lúnasa 08, 2005

Sesuatu yang terhenti


"Inilah sebuah dunia "yang melampui realitas" yang ada sebuah hiperealitas (hypereality), sebuah realitas yang virtual (virtual reality). Dunia realitas yang melampui dan bersifat artifisial ini menjajah hampir setiap realitas yang ada, yang pada suatu ketika akan mengambil alih secara total realitas-realitas tersebut. Kenyataan tersebut akan menimbulkan pertanyaan, apakah dunia artifisial dapat menghasilkan kesenangan, kegairahan, kepuasan yang lebih kaya, yang lebih beragam, yang lebih tinggi, apakah kita masih memerlukan realitas itu sendiri? Apabila kita tidak lagi membutuhkan lagi realitas, apakah ia harus kita tinggalkan, kita hancurkan, kita serang, kita "bunuh", untuk kemudian digantikan sepenuhnya oleh realitas-realitas artifisial" (Kata Pengantar oleh Yasraf Amir Piliang, Sebuah Jagat Raya Maya : Imperialisme Fantasi dan Matinya Realitas dalam buku Ruang Yang Hilang : Pandangan Humanis Tentang Budaya Hyperspace yang Merugikan)


Sesuatu yang sudah terhenti lama pasti akan sulit untuk memulainya kembali. Begitu juga dengan besi-besi yang berkarat, harus diberikan sedikit pelumas dan dipoles beberapa potong amplas agar dapat kembali lancar bekerja.

Apa yang teradi dengan saya beberapa minggu belakangan ini tidak jauh berbeda, setalah ditimpa beberapa amanah yang sangat menyita waktu hingga melupakan target yang telah saya canangkan beberapa waktu sebelumnya dalam dunia per-blog-an yaitu sebuah tulisan dalam seminggu, minimal.

Mungkin sebaiknya saya mulai sedikit cerita tentang hari-hari saya belakangan ini untuk memberikan sedikit "tendangan" pada otak yang sudah mulai beku dan jari jemari yang kaku ini,...yah agar sedikit lentur lah.

Kejadian besar yang menimpa saya pertama kali adalah dimulainya produksi microfilm di kantor tempat saya bekerja. Sebuah program untuk memindai koran-koran terbitan Indonesia, utamanya terbitan nasional seperti Republika dan Kompas. Berbeda dengan pemindaian digital yang hanya memerlukan scanner dan PC dalam melakukannya, kantor saya memilih untuk memindai koran-koran tersebut dengan cara yang sedikit kuno namun telah teruji dapat bertahan sampai dengan 500 tahun setiap hasil pemindaiannya.

Microfilm namanya, memang micro bentuknya, dan film berukuran 35mm sebagai bahan utamanya. Film-film ini didatangkan langsung dari Belanda, karena memang di Indonesia sangat jarang toko-toko yang menjual jenis film dengan harga setelah dirupiahkan kurang lebih Rp. 400.000,-/rol. Setiap gulungan film dapat memuat 600 frame dan setiap frame mencakup dua halaman koran, jadi sebuah rol film 35mm dapat menyimpan 1200 halaman, kurang lebih.

Banyak memang, namun anda akan terkejut bila saya beritahu bahwa satu rol film paling banyak hanya sanggup mencakup koran selama dua bulan, biasanya Republika cukup 1,5 bulan/rol. Kompas adalah mimpi buruk kami, karena tiap harinya rata-rata terbit 60 halaman maka walhasil sebulan menghasilkan 1800 halaman, itu bila hanya sampai tanggal 30. Tidak jarang kami harus menyambung ke rol berikutnya untuk menyelesaikan satu bulan terbitan koran Kompas.

Berbeda dengan proses dijital yang akan dengan mudah mengulang sebuah proses pemindaian bila terjadi kesalahan, produsi microfilm harus diulang dari awal bila terjadi kesalahan. Sesuatu yang sangat tidak diinginkan oleh penanggung jawab produksi microfilm seperti saya adalah ketika tidak sengaja cahaya mengenai permukaan film yang belum di proses (biasanya kita mengenal dengan "cuci-cetak")...karena secercah sinar saja bocor maka film-film tersebut akan terbakar. O iya, setiap rol biasanya memakan waktu seharian jam kerja dalam mindainya, bayangkan bila harus mengulanginya lagi dari awal...sangat membuang-buang waktu bukan.

Itulah alasan pertama kenapa saya tidak pernah lagi menyentuh otak saya untuk berfikir dan mencari ide yang akan tertuang dalam blog.

Bila ada pertama harusnya ada yang kedua bukan? Ya, nyatanya memang ada alasan berikutnya kenapa saya melupakan blog saya. Apaan tuh? Adalah Munas 1 PKS alias Musyawarah Nasional pertama Partai Keadilan Sejahtera adalah ke mana ujung jari telunjuk saya mengarah.

Di sana seorang teman meminta saya untuk membantu dokumentasi foto selama Munas berlangsung. Seminggu yang luar biasa, bila boleh saya katakan seperti itu. Bertemu dan menyalamali orang-orang hebat yang selama ini hanya bisa saya lihat melalui televisi atau koran. Yah, tentunya yang paling utama saya mendapatkan gambar mereka.




Temans, begitulah beberapa minggu terakhir yang menyita waktu-waktu saya hingga rasa-rasanya blog saya menjadi terbengkalai. Ingin sebenarnya saat dalam kesibukan lalu saya menyisakan waktu untuk kembali menulis dan menyapa teman-teman via blog. Namun seperti kata Josh Groban dalam lagunya "Remember When It Rain" saya hanya dapat mengingat teman-teman dalam hujan yang nyimik-nyimik turun pada bulan yang semestinya masih kemarau ini untuk melepas rindu.

Satu catatan khusus yang rasa-rasanya perlu saya bagi pada teman-teman adalah saat saya membaca sebuah kisah yang sangat menarik terjadi dalam dunia maya. Tepatnya melibatkan sebuah stasiun radio ternama di Jakarta, sebuah milis dan beberapa identitas ganda. Bagaimana seorang berkepribadian ganda menipu beberapa penyiar (yang semuanya wanita) radio tersebut, bahkan sempat berjanji menikahi salah satunya. Belakangan terbongkar bahwa pemiliki identitas tersebut ternyata seorang ibu berusia 60-tahunan.

Hal demikan juga terjadi, cerita teman saya, pada sebuah situs Islam terkenal di Indonesia di mana para pengunjung setianya kerap kali mengadakan pertemuan dalam dunia maya alias konfrence. Intensnya pertemuan dalam dunia maya membuat masing-masing pengunjung rutinnya merasa mengenal dan kadang tidak sungkan-sungkan berbagi rahasia, walau belum pernah bertemu secara fisik.

Setelah beberapa tahun berlangsung teman saya itu menemukan keganjalan pada beberapa identitas, tepatnya lima identitas yang katanya beberapa kali memberikan data-data yang mencurigakan. Keganjalan paling fatal adalah ketika salah satu dari "lima orang" itu memberikan foto dirinya yang ternyata adalah foto temannya yang kebetulan dipasang dalam website miliknya.

Nah bagian paling serunya adalah 2 dari 5 identitas di atas saling menikah dan tinggal di luar negeri bahkan sempat menyebarkan berita bahwa sudah memiliki satu anak. Lucunya, lagi-lagi foto anak yang dipasang di websitenya adalah anak seorang mahasiswa yang juga sedang kuliah di Jepang.

Pendek kata setelah menjalani proses panjang teman saya dan seorang sahabatnya yang memang ahli komputer menemukan kesimpulan bahwa dari lima identitas itu hanya satu yang benar atau memang palsu semua. Termasuk data-data yang mereka temukan adalah orang tersebut biasa memakai sebuah warnet di Bandung dalam menjalankan perannya dalam dunia maya.

Dunia maya memang kejam, membuat saya berfikir sejenak apakah ada di antara teman-teman dunia maya saya yang bukan sebenar-benar dirinya. Atau jangan-jangan tanpa saya sadari apa yang tampak dalam dunia maya tidak mempresentasikan diri saya sebenarnya dalam dunia nyata,....ah saya khawatir malah seperti itu jadinya.

Di dalam cyberspace berbagai peristiwa dirangkai. Direkayasa dan kemudian disuguhkan untuk komsumsi umum -- inilah pseudo-event. Pseudo-event adalah sebuah kejadian atau peristiwa yang tampaknya terjadi secara spontan, tetapi semuanya terjadi disebabkan seseorang merencanakan, merekayasa, atau memprovokasinya. Kejadian-kejadian palsu tersebut kini tumpang tindih dengan realitas sesungguhnya sehingga publik boleh jadi berspekulasi secara bebas tentang makna dan kebenarannya. (Walter Truett Anderson, Reality Isn't What It used to Be, Harper Collins, 1990, h.9).

Btw, anda boleh yakin akan satu hal...bahwa saya tidak langsing dan menyukai berbagai macam makanan :)

0 Comments:

Post a Comment

<< Home