Berdiri di titik Nol
Angin dari arah laut semakin kencang saja, membawa debu-debu serta serbuk kayu berterbangan ke sana ke mari tak tentu arah. Serta merta saya melindungi lensa kamera menutupi kemungkinan kerasnya kerikil atau serbuk kayu yang mungkin ikut terbawa angin. Beberapa kali kami membuka topik pembicaraan dengan kuli-kuli pelabuhan berkulit legam tanda kerasnya hidup di ujung Jakarta ini, sambil mencoba membidik beberapa objek yang menarik untuk dijadikan 'hikmah'.
Selepas shalat ashar di masjid Al Bahrain Sunda Kelapa Jakarta Utara, saya serta beberapa teman dari kelompok pecinta fotografi Galeri Keadilan berdiri di antara tumpukan kayu yang katanya dibawa dari Kalimantan di sebelah kanan serta deretan kapal-kapal kayu di kiri. Kapal-kapal kayu yang mungkin bentuk, teknologi bahkan teknik pelayaran yang mereka pakai tidak berubah banyak selama beberapa abad belakangan ini. Namun begitu, cukup membuat takjub saya dan isteri, yang kebetulan juga ikut, kenapa kayu-kayu tersebut dengan teknologi yang tidak semodern kapal besi sangat kuat menahan rembesan air laut.
Pertama kali saya bertemu dengan salah satu kuli pelabuhan, saya berfikir bahwa mungkin saja ayah bahkan kakek dan kakek buyut mereka sudah ada di sini. Menyaksikan datang-perginya berbagai bangsa asing baik dengan niat baik maupun terburuk sekalipun memasuki kota Jakarta. Ya di pelabuhan Sunda Kelapa inilah semuanya dimulai.
Penjajahan 350 tahun oleh Belanda, perebutan Sunda Kelapa lalu di rubah namanya menjadi Jayakarta oleh Falatehan, bahkan mungkin alim ulama dari negera-negara Arab, India, Turki dan lain lain mendarat dan menyebarkan Agama Islam di Jakarta. Saya tersadar bahwa saat itu, ketika saya menginjakkan kaki di Pelabuhan Sunda Kelapa, tanah ini adalah tanah yang sama membentuk sejarah bangsa Indonesia selama berabad abad hingga detik ini.
Sunda kelapa sejak abad ke dua belas sudah dikenal sebagai bandar yang didatangi oleh kapal-kapal dari manca negara. Pada tahun 1619 tepatnya 30 Mei Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen merebut Sunda Kelapa dari tangan falatehan dan menghancurkannya. Pada saat dalam kekuasaan Falatehan Sunda Kelapa dirubah namanya menjadi Jayakarta. Setalah peristiwa penaklukan Sunda Kelapa oleh JP Coen dari Falatehan, proyek pembangunan kota Batavia dimulai oleh JP Coen dengan "menaklukan" sungai Ciliwung terlebih dahulu.
Berdiri di titik nol, begitu saya menyebutnya ketika menginjakkan kaki di Pelabuhan Sunda Kelapa. Membuat saya bergidik mengingat akan besarnya bangsa yang ada di balik punggung saya ini, pelbagai daya tarik yang membuat bangsa ini menderita bahkan bahagia bermula dari pelabuhan ini. Pala, cengkeh, "Si emas hitam" lada dan minyak kelapa sawit telah berkali-kali saya baca di buku sejarah menjadi awal yang panjang dan rumit jalan sejarah yang di alami negeri ini Juga bagaimana perjuangan penduduk yang mengklaim dirinya Orang Indonesia sampai akhirnya kemerdekaan tiba.
Uniknya suasana Pelabuhan yang terletak di Muara Sungai Ciliwung ini memaksa kami mulai merekam kegiatan serta objek-objek menarik yang ada di sana. Sri Wardono dengan tangkasnya merekam kuli-kuli memindahkan kayu ke dalam truk dari kapal, Tedi berdiri menyender pada tembok beton batas pelabuhan dan pantai sambil entah merekam objek menarik mana lagi. Sementara saya masih sedikit bingung memilih di antara objek yang demikian banyak. Membuat saya ingin merekam semua... namun kepentok dengan terbatasnya memori pada kamera.
Seorang anak berdiri di atas beton yang hanya sebatas telapak kaki lebarnya sambil tertawa-tawa. Sang Bapak asyik menawarkan kami sampan kecil (yang rasa-rasanya bila terhempas ombak sekali saja akan terbalik) untuk berputar-putar pelabuhan Sunda Kelapa melalui sisi lautnya. Namun bukan itu yang kami khawatirkan, justru anak kecil itu membuat kami ngeri, bila terpleset maka akan basahlah badannya, atau bila terjatuh di sisi baliknya paling tidak akan membuat kepala anak itu bocor terantuk beton keras.
"Hati-hati Pak, nanti anaknya jatuh!" teriak Feri
"Ah gapapa kok" tersenyum ringan
Anak-anak di Sunda Kelapa besar di atas laut walau tidak mirip suku "laut" Bajo yang hampir seluruh hidupnya dihabiskan di atas laut. Anak-anak Sunda Kelapa sama dengan mereka yang lahir di Bajo sana hampir sembilan puluh persen hidupnya tergantung dari lautan. Paling tidak selama masih ada barang untuk diangkut dan masih ada barang yang diseberangkan ke Jakarta dari pulau-pulau tetangga, ayah mereka akan tetap mendapatkan pekerjaan dan itu artinya seuap lagi nasi masuk ke perut anak-anak Sunda Kelapa.
Pelabuhan Sunda Kelapa selama beberapa abad pernah menjadi jendela Jakarta, Jayakarta atau Batavia sampai akhirnya digantikan oleh Tanjung Priuk. Kabarnya pada abad ke sembilan belas Jakarta dikenal dengan keindahannya, sebuah kota yang menakjubkan bahkan sempat banyak orang menyebutnya dengan julukan "Queen of the East" menggandeng Bandung dengan "Paris van Java"-nya. Jendela yang boleh jadi saat ini mulai tertutup untuk memberikan kesempatan bagi jendela-jendela lain untuk terbuka dan membiarkan isi rumah lebih terpampang keindahannya dari luar sana.
Matahari mulai menelusup di antara kabel-kabel serta tiang-tiang tenggelam di balik lambung-lambung kapal. Kuli-kuli pelabuhan duduk-duduk di tepian pelabuhan menikmati hasil jerih payah mereka seharian tadi. Beberapa lagi sibuk membersihkan diri mereka dari debu dan kotoran dan lainnya mencerna minuman serta makanan dari pedagang kecil. Suara azan sudah berkumandang beberapa saat lalu, membawa kami kembali ke masjid Al Bahrain untuk segera menunaikan shalat maghrib. Menutup episode hari ini, berharap kembali di lain waktu.
Beberapa Foto-foto hasil hunting bisa diliat di sini (lowres)
0 Comments:
Post a Comment
<< Home