Cemburu pada Gola Gong :
just an easy weekend thought
Jujur saja, bahkan ketika kecil dahulu kakak saya suka membawa majalah HAI temannya ke rumah untuk membaca kisah Gola Gong saya tidak begitu tertarik sama sekali. Yah paling-paling hanya meliriknya sedikit separagra saja. Jujur saja, saya tahu bahwa Gola Gong adalah Balada Si Roy, tapi ya itulah sampai saya kuliah saya hanya tahu bahwa Si Penulis asal Banten tersebut banyak menciptakan tulisan lain selain yang dimuat di majalah HAI.
Lalu apa yang dicemburui? ya saya cemburu dengan Gola Gong karena dia tumbuh dan besar di sebuah kota walau kecil namun hangat. Saya cemburu karena masa kecil Pendiri Rumah Dunia ini penuh dengan kecintaanya pada buku, seni dan film-film silat kesukaannya.
Walaupun saya juga dikeliling dengan berbagai bacaan, bahkan tidak berbeda jauh dengan Gola Gong, dari Intisari, Bobo dan Kawanku serta beberapa komik yang mungkin juga pernah dibaca Gola Gong kecil. Namun apa yang saya dapat dari bacaan-bacaan itu tidak sehebat dengan apa yang mempengaruhi Gola Gong hingga sampai apa yang kita kenal sekarang...seorang penulis.
Ya saya memang tidak pernah bercita-cita menjadi penulis, tetapi disitulah letak duduk perkaranya. Saya merasa ada sesuatu yang salah, kenapa saya tidak ingin menjadi penulis? padahal dari sisi pengalaman masa kecil kita tidak berbeda jauh.
Apa Man tidak berbeda jauh?
... yah mungkin si Gola Gong lebih ekspresif dengan imajinasi yang terbentuk dari bacaannya. Dia juga mampu berkarya walau dengan tubuh yang tidak sesumpurna saya, lihat saja deretan prestasi yang diraihnya ketika remajanya dahulu dalam olahraga bulu tangkis serta melukis.
Saya?...ah kamu mengaku sama dengan dia, padahal dahulu main catur saja kamu tidak pernah menang Man. Ingat bagaimana kamu dulu lebih sering bengong dan tidur-tiduran saja di rumah, setelah membaca habis majalah-majalah di gudang Man?... ya ya saya ingat!!...tetapi mengapa?
Rumah saya memang tidak begitu atraktif dibandingkan lingkungan tempat Gola Gong tinggal. Kami tinggal dalam sebuah komplek tentara yang jalan-jalanya baru ramai oleh anak-anak selepas ashar. Sebelumnya kami disibukkan oleh tugas sekolah, atau bila tidak ya tidur siang, entah darimana budaya itu datang.
Menjadi seorang anak yang besar dalam lingkungan komplek tentara sebenarnya tidak begitu buruk. Kami terbiasa bermain seperti anak-anak di kampung manapun juga di Jakarta. Galasin, gambar-gambaran dan tap benteng satu biasa kami mainkan waktu itu, tidak ada yang namanya PS1 atau bahkan 2, mungkin dulu ada Atari tapi begitu mahalnya hingga tidak populer di antara kami. Permainan elektronik saat itu yang sepertinya sangat nafsu ingin dimiliki oleh teman-teman adalah game watch.
Tetap ada saja jarak yang saya tidak mengerti antara kami dan Gola Gong.
Ya jarak itu membuat saya cemburu pada Mas Gola Gong....
0 Comments:
Post a Comment
<< Home