Bealtaine 12, 2005

The root of all evil? : We love books, but...




Kendati lebih dari dua per tiga responden mengaku memiliki kebiasaan membaca buku, kenyataannya sebagian besar dari mereka belum menjadikan buku sebagai suatu kebutuhan atau bagian dari hidup mereka sehari-hari (Kompas, 19 Februari 2005)

Unik memang apa yang sedang terjadi di tengah masyarakat kita, karena sering kali minat baca dituduh sebagai biang keladi penyebab benda yang dinamakan buku dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya seperti koran, jurnal dan majalah, bahkan perpustakaan sepi dari penggemar. Namun di sisi lain penelitian yang dilakukan oleh Kompas menunjukkan minat baca di tengah-tengah masyarakat kita bukanlah sesuatu yang patut dilindungi dan dilestarikan layaknya binatang langka.

Kenapa ada masalah di sini? Ya bila anda pustakawan maka anda akan bertanya kenapa perpustakaan saya masih sepi-sepi saja. Bila anda penerbit buku pasti sedang menggaruk-garuk kepala karena buku-buku terbitan anda belum juga tembus angka sepuluh ribu eksemplar. Bila anda pemimpin redaksi maka anda akan berfikir keras menaikkan tiras yang segitu-gitu saja bahkan cenderung menurun di tengah serangan koran-koran dan tabloid baru sejak reformasi.

Antara saya dan anda saja--ini rahasia loh--kenapa dunia perbukuan begitu lesu adalah karena rasa memiliki orang kite terhadap buku dan segala sesuatu yang berhubungan dengan buku sangat rendah, itu katanya.

Kebanyakan kita tidak pernah menyisihkan uang untuk belanja khusus buku dan segala sesuatu yang ada hubungan dengannya. Kalaupun ada sebagian orang yang menyisihkan uang untuk keperluan tersebut maka jarang sekali yang menyisihkan uang lebih dari seratus ribu sebulan untuk belanja buku. Berarti rata-rata tidak lebih dari empat atau lima saja judul buku bermutu perbulan dibelanjakan. Tidak heran kenapa penerbit malas untuk menerbitkan judul-judul baru karena memang dimannya terlalu kecil.

Bicara soal penerbitan buku berdasarkan data dari Intenational Publisher Association, Inggris menempati tempat pertama di dunia sebagai penerbit buku terbanyak dalam setahun, tidak main-main rata-rata di Inggris 100 ribu judul buku per tahun. Pada tahun 2000 saja sebanyak 110.155 judul buku berhasil diterbitkan. Sedangkan urutan kedua ditempati oleh Jerman dengan diterbitkan pada tahun 2000 mencapai 80.779 judul, Jepang sebanyak 65.430 judul buku. Sementara itu, Amerika Serikat menempati urutan keempat.

Indonesia dengan penduduk lebih dari 200 juta orang pada tahun 1997 pernah dengan suksesnya menghasilkan lima ribuan judul buku. Tetapi, tahun 2002 tercatat hanya 2.700-an judul. Sangat jauh apabila dibandingkan dengan produksi penerbitan buku tingkat dunia (Republika 24 Januari 2003).

Bila memang rasa memiliki orang Indonesia sangat rendah walau dengan tingkat minat baca yang tidak terlalu mengecewakan, pasti di mana ada pusat buku-buku gratis tentunya di sana akan banyak sekali orang dong ya, paling tidak begitulah logikanya. Ah...ternyata logika tidak selalu benar, karena yang anda bayangkan salah besar. Nyatanya sampai saat ini sebagai penyedia (baca) buku gratis yang dikenal dengan sebutan perpustakaan masih menjadi mahluk asing kesepian di tengah-tengah masyarakat sekalipun.

Diakui atau tidak memang nyatanya minat pemanfaatan perpustakaan masih sangat kurang. Tidak diketahui dengan jelas kenapa sebabnya, ini menarik karena pastinya bila minat baca masyarakat kita cukup besar dengan daya beli buku yang rendah pastinya mereka akan dengan serta merta menyerbu perpustakaan bukan?

Salah satu sebab kenapa banyak masyarakat yang enggan mengunjungi perpustakaan adalah karena memang mereka tidak pernah "terdidik" memanfaatkan perpustakaan sebagaiman mestinya. Terutama di sekolah-sekolah di mana kebanyakan pendidikan tentang perpustakaan seharusnya dimulai ternyata malah di sanalah kebanyakan perpustakaan mengalami mati suri. Menurut data dari Deputi Pengembangan Perpustakaan Nasional RI (PNRI) dari sekitar 300.000 SD hingga SLTA, baru 5% yang memiliki perpustakaan. Bahkan diduga hanya 1% dari 260.000 SD yang mempunyai perpustakaan. Juga baru sekitar 20% dari 66.000 desa/kelurahan yang memiliki perpustakaan memadai (Kompas, 25/7/02). Ironis bukan?

Rasa memiliki dan tentunya mencintai buku, selayaknya seperti AA Gym katakan dimulai dari diri sendiri, dari yang kecil-kecil dan dari sekarang. Rasa memiliki apabila ditanamkan sejak dini tentunya akan lebih mudah. Keaktifan orang tua untuk mengenalkan buku kepada anak-anaknya memberi pemahaman bahwasanya buku adalah sesuatu yang menarik. Tidak perlu langsung diberikan buku-buku dengan penuh teks di dalamnya, namun perkenalkan mereka dengan buku-buku berilustrasi dan warna yang menarik. Orang tua harus memastikan bahwa kecintaan akan buku dan membaca adalah tujuan pendidikan yang terpenting bagi anaknya.

Bagaimana dengan penerbit? saya tidak bisa berharap banyak terhadap penerbit untuk mengejar ketertinggalan kita dari bangsa lain. Apalagi yang namanya biaya produksi buku sangat mahal dan akan jatuh di pasaran juga dengan harga yang tidak murah. Namun peran fihak berwenang sangat dibutuhkan di sini. Seperti layaknya anak yang sedang belajar naik sepeda sangat membutuhkan dorongan positif sedikit agar mampu menguasainya, maka subsidi kertas dan proteksi terhadap hak cipta penulis serta penerbit agar dapat diperhatikan.

Subsidi kertas walau sepertinya terlihat (oleh fihak berwenang) sangat absurd karena toh akhirnya hanya akan menjadi pembungkus kacang dan alas duduk orang Solat Ied. Namun nyatanya, subsidi kertas, dapat menekan biaya produksi buku yang tentunya akan berefek pada turunnya harga buku-buku bermutu. Sepertinya kalau ini sudah terjadi sebuah keluarga walaupun dengan anggaran kurang dari seratus ribu sebulan untuk membeli buku tetapi jumlah judul buku yang terbeli akan signifikan.

Perlindungan hak cipta dengan antara lain memerangi pembajakan buku akan menimbulkan rasa terlindungi dalam diri penulis. Pastinya bila karya-karya mereka terjamin tentunya akan mendorong para penulis dan calon penulis untuk lebih sering menelurkan tulisan-tulisan baru.

Perpustakaan? Aaah berbusa deh saya bicara di sini, bagaimana perpustakaan agar dapat lebih maju dan diterima oleh masyarakat, tidak bosan-bosannya saya mengingatkan peran serta, tidak hanya oleh perpustakaan itu sendiri namun juga oleh masyarakat. Intinya dandanilah perpustakaan seindah dan semenarik mungkin. Dandani perpustakaan dengan "lipstik, bedak dan wig" bila perlu agar masyarakat tertarik memanfaatkan perpustakaan.

"Sebuah perpustakaan---apalagi bila bagus---layak dipilih sebagai sahabat penulis. Sebaliknya, perpustakaan yang telah berdiri senantiasa butuh kawan
agar dinamik. Penulis bisa menawarkan diri untuk aktif; perpustakaan harus memberi akses semudah mungkin agar orang didekatnya beraktivitas. Perpustakaan harus terus memperbaiki layanan, tidak hanya melalui kelengkapan koleksi, melainkan juga melalui pendekatan paling sesuai dengan karakter maksud pendirian atau target sasarannya" (Anwar Holid, editor fiksi Penerbit Jalasutra).

Namun yang paling penting, ada sebuah pendapat yang cukup menarik dilontarkan oleh tokoh pemberantasan buta huruf di Pakistan Ny Saheen Attiq-ur Rahman "Daripada mengajari mereka membaca dan menulis, pertama-tama berikan dulu air bersih pada mereka. Sebagian besar waktu mereka habis hanya untuk bisa tetap survive,"

Benar sekali pendapat Saheem bila dikaitkan dengan masyarakat kita. Harus diakui bahwa buku adalah kebutuhan non primer yang bisa dipenuhi apalagi dicintai setelah kebutuhan-kebutuhan pokok lainnya telah tercapai. Masyarakat yang menggemari buku berdasarkan jumlah buku yang diterbitkan per tahun seperti yang saya kutip di atas didominasi oleh negara-negara makmur dengan Poleksosbud relatif lebih stabil dibandingkan Indonesia. Jadi sebelum kita bicara mencinta buku, minat baca, daya beli buku dan sepinya perpustakaan sepertinya kita fikirkan dulu bagaimana caranya agar dapat menikmati buku dalam suasana yang kondusif.

Wallahu a'lam.

pict from here

0 Comments:

Post a Comment

<< Home