Menunggu Tarzan dari Tenabang
Bila sebuah buku dibilang best seller di luar negeri misalnya Amerika dan Inggris maka kopi yang terjual biasanya lebih dari ratusan ribu, bahkan jutaan. Sebut saja karya JK Rowling dengan buku ke lima serial Harry Potter and the Order of the Phoenix pada hari pertama peluncuran buku tersebut langsung laku lima juta kopi. Sangat berbeda jauh dibanding Indonesia yang hanya cukup berhenti sampai ribuan kopi saja untuk disebut sebagai buku-buku best seller.
Menurut Hernowo dalam kata pengantarnya dalam buku bertajuk Elegi Guttenberg (saya sangat suka sekali buku ini hingga tidak pernah bosan membacanya) Begitu seorang tertarik untuk membaca sebuah buku, secara otomatis dia telah berniat untuk memperluas wawasan dan memperkaya perspektif. Buku akan mengajaknya menjelajahi wilayah baru yang sebelumnya tidak pernah dikenalnya - atau pernah dikenalinya, namun kurang fokus. Buku akan memandunya melewati pelbagai macam "jalan" dalam upaya kerasnya menuju satu tujuan yang terarah dan jelas sekali. Begitulah buku, membuat seseorang lebih fokus, paling tidak.
Bagaimana sih sebuah buku dapat begitu lakunya bak kacang goreng, padahal yang namanya buku itu tidak semurah yang kita kira. Bahkan untuk membaca bukan hanya bagi Orang Indonesia, bagi kebanyakan orang-orang di luar negeri juga merupakan pekerjaan yang membosankan. Buku Harry Potter di atas yang tebalnya 896 halaman dijual tidak kurang dari Rp. 225.000.00 jelas bukan sebuah bacaan yang ringan dan juga tentunya bukan juga harga yang murah, apalagi untuk kebanyakan anak-anak di Indonesia. Tetapi ya itu tadi, lima juta kopi di hari pertama launching, sungguh prestasi yang luar biasa bahkan untuk negara adidaya sekalipun.
Sihir kah? Ya memang buku karya JK Rowling isinya tentang dunia sihir dan hal-hal yang berkaitan dengannya paling tidak dunia sihir dalam khayalan sang pengarang. Namun bukan sihir yang menyebabkan bukunya sangat laris, banyak faktor di belakang layar menjadi penentu laku tidaknya sebuah buku di pasaran.
Faktor utama adalah penulis,...betul sekali! Penulis yang handal, penulis yang mampu menterjemahkan apa yang ada dalam kepala pembacanya (tentunya juga apa yang ada dalam kepala Si Penulis) ke dalam buku-bukunya. Penulis yang baik tentunya sudah mengetahui tagret pasar yang ingin ditujunya tepat ketika dia mulai menekan huruf pertama pada tuts keyboardnya.
Tanpa penulis tak akan ada namanya buku, atau karya tulis. Benar memang, namun saat ini ribuan orang menyebut dirinya sebagai penulis, raturan orang berebutan untuk menerbitkan buku-buku karyanya, namun hanya puluhan orang bahkan lebih sedikit lagi yang layak disebut sebagai penulis handal.
Bagaimana memilah penulis berpotensi dari ratusan naskah sampai akhirnya sampai ke tangan pembaca? Nah di sinilah datang fungsi penerbit. Penerbit dan penulis bagaikan dua ekor ikan di tengah lautan yang saling menguntungkan, paling tidak begitulah teorinya. Penerbit, bertugas membantu penulis untuk memproduksi secara massal apa yang telah dituangkan, dan penulis tentunya diharapkan tetap produktif menghasilkan tulisan-tulisan yang menarik.
Namun ada kalanya perjuangan seorang penulis untuk menerbitkan bukunya tidak semudah yang kita bayangkan.
Ingat Benyamin S. pernah memerankan tarzan dalam film tarzan betawi? Dalam film itu Bang Ben ditemani Ida Royani remaja putri yang besar di kota. Dalam kisah aslinya tarzan juga memiliki seorang kekasih bernama Jane berasal dari dunia manusia yang beradab. Tarzan aslinya merupakan tokoh rekaan yang diciptakan oleh Edgar Rice (1875-1950) yang menarik disimak adalah bagaimana kisahnya hingga terkenal dengan karya tarzannya.
Edgar mulai menulis pada usia 35 tahun setelah gagal menjalani berbagai profesi antara lain menjadi koboy di Idaho, penambang emas di Oregon, dan polisi jalan kereta api di Utah. Dia juga pernah bekerja sebagai akuntan, padahal buta akutansi yang membuatnya bertahan di sana adalah atasannya ternyata lebih buta akutansi dari pada Edgar. Pernah juga membuka bisnis sendiri namun gagal.
Ketika menjadi agen penjual serutan pinsil dia mulai menulis, sambil menunggu anak buahnya. Minat menulisnya dimulai karena dia sering membaca roman picisan, menurutnya kalau seseorang dapat menghasilkan uang dengan cerita-cerita bualan macam ini maka dia juga bisa.
Karya pertamanya bukan Tarzan, dia pernah menawarkan karyanya tersebut ke penerbit terkemuka di Amerika dan tiga belas penerbit di Inggris namun semuanya menolak. Karya Edgar sebelum tarzan antara lain Dejah Thoris, Princess of Mars (1912) dijual seharha 400 dolar dan itu adalah 400 dolar pertamanya dari tulisan karyanya. Hasil penjualan yang menurut dia paling berkesan dalam hidupnya
Apapun tujuan seorang penulis dalam berkarya sebenarnya tidak lah menjadi sebuah alasan masyarakat menyukainya atau tidak. Justru apa yang dihasilkannya lah menjadi tolak ukur karya sang penulis. Boleh saja mislanya seperti pencipta tokoh Tarzan di atas menulis karena dempetan ekonomi, bila memakai istilah Edgar, dia terdorong menulis karena memiliki satu orang isteri dan dua orang anak. Atau misalnya anda menulis karena, dengan alasan lain, ingin memililiki peran yang berati dalam perkembangan sastra di Indonesia.
Apapun alasannya memang benar-benar tidak begitu dipedulikan, paling tidak dari di penerbit. Penerbit hanya tahu, bila karya anda bagus dan sesuai minat pasar maka mereka bersedia menerbitkannya. Memang sih ada juga penulis yang idealis dengan tidak begitu mempedulikan arus pasar, buat mereka sastra ya sastra. Bahkan mereka rela menerbitkan karya-karya miliknya tanpa melalui penerbit yang sudah biasa, bak sebuah album lagu dengan indi label karya mereka beredar di pasaran.
Baiklah, jadi bagaimana awalnya anda mulai menulis dan dengan cara apa anda menerbitkan karya-karya anda baik itu melalui penerbit yang sudah mapan maupun dengan cara underground. Saya masih sangat berharap bahwa pada suatu saat nanti muncul penulis dengan karya-karya yang sangat dihargai oleh masyarakat. Siapa tahu muncul penulis yang dari Penjaga Kios Tenabang atau Guru daru Kampung Sawah atau bahkan pekerja tambang yang menuliskan karya masterpisnya dari Puncak Jayawijaya sekalipun.
Kami masih menunggu....
0 Comments:
Post a Comment
<< Home