Deireadh Fómhair 03, 2005

Nyete



Seberapa jauh anda mengenal tradisi keluarga, atau paling tidak kebiasaan-kebiasaan yang menjadi ciri khas asal keluarga anda? Pertanyaan tersebut muncul ketika minggu lalu saya pulang kampung ke Daerah asal ibu saya, yakni Blitar. Saya kira saya tahu kebanyakan tentang banyak kebiasaan saudara-saudara saya di sana, paling tidak memang itu yang saya rasa sampai kemarin saya menemukan kebiasaan yang kalau boleh di bilang unik di sana.

Tidak banyak yang berubah memang, makanan favorit saya yaitu rawon, tidak sulit ditemukan, berhubung masih dalam suasana hajatan pernikahan sepupu saya yang paling langsing menikah (mengingat kebanyakan famili saya berbadan besar, hingga menjadi langsing adalah hal yang tidak biasa). Bahkan, tiga hari berturut-turut saya merasakan nikmatnya rawon asli Blitar, sampai "mabok" dan rindu bubur ayam. Begitu juga dengan nasi pecel yang semudah menemukan nasi uduk di Jakarta, dan tentunya tak lupa es dawet campur pleret di samping alun-alun kota.

Satu hal yang mungkin agak berubah, karena semakin menjadi, adalah kebiasaan merokok sepupu-sepupu saya yang bukannya berkurang. Masing-masing memiliki favorit rokok yang tidak sama ada yang fanatik dengan samsoenya, saat ini sebungkus samsoe seharga Rp. 7000, ada juga yang menyukai gudang garam filter, sebungkus kira-kira Rp. 4000-an, dan tak lupa Sekotak Djarum tipe terbaru (Compact Size) selalu ada di sana. Asap yang mengebul dari masing-masing mulut sepupu saya sontak membuat atmosfir disekitar mengalahkan debu-debu dari Pasir Gunung Kelud sana.

Nah, beberapa hari berkumpul bersama para sepupu dan famili yang menggilai rokok membuat saya memperhatikan beberapa kebiasaan yang di Jakarta tidak pernah ditemui. Nyete namanya, yaitu membaluri batang rokok yang akan dihisap dengan ampas kopi, mengolesinya (sepertinya) harus menggunakan pentul korek api yang belum terpakai. Jadi, ampas kopi di letakkan di atas cangkir, lalu dengan korek api yang masih baru ampas tersebut di totol-totol dan dioleskan pada batang rokok yang akan dihisap.

Menurut sang pelaku, katanya merokok dengan cara begitu terasa lebih nikmat, ...rasa kopi kali. Saya rasa dari sinilah ide sebuah produsen rokok yang dalam iklannya, akhir-akhir ini sering muncul, mengusung slogan "cappucino in stick".

Tidak cukup sampai di situ, bahkan salah satu sepupu saya, tetap dengan sebatang korek api yang belum terpakai. Mentotoli balsem yang ada dekatnya (tidak tergantung pada merek balsem tertentu, pokoknya balsem lah) lalu melakukan proses yang sama pada kopi di atas sebelum menghisapnya, katanya..."hmmm, rasa menthol".

Anda fikir dua kebiasaan di atas aneh ya? Berarti anda belum tahu banyak soal kebiasaan merokok saudara-saudara saya. Dari semua kebiasaan merokok dengan pelbagai aksesorisnya ada satu hal yang paling unik dan menurut saya agak sedikit nyerempet-nyerempet bahaya. Apaan tuh? Yakni kebiasaan beberapa penikmat rokok di sana memolesi rokoknya dari getah batang pohon opium. Tidak jelas apakah yang dimaksud benar-benar opium seperti yang kita kenal, atau hanya sebatas istilah saja karena memang memberikan efek yang lebih nikmat bila menggunakannya.
Namun, dari beberapa pembicaraan sepupu saya sepertinya memang getah-getah tersebut diambil dari akar pohon opium yang katanya zaman Belanda dahulu di tanam dengan sengaja. Ada dua jenis kemasan getah opium tersebut atau orang Blitar biasa menyebutnya dengan candu, pertama dalam bentuk batangan, yang ini tidak begitu disukai karena katanya sudah dicampur dengan "hanya Tuhan yang tahu". Sedangkan yang kedua dan paling banyak digemari biasanya berbentuk cairan karena murni getah dari pohon opium. Sayang saya gagal mendapatkan merek-merek candu tersebut yang katanya dijual bebas di sana.

Yah, memolesi dengan kopi, balsem atau bahkan candu buat saya yang memang tidak terbiasa merokok, asapnya terasa sangat mengganggu apalagi bila terlanjur nyelip di mata. Akan membuat mata ini berair dan perih untuk beberapa saat, jadi teringat saya pada lagu "smoke gets in your eyes".

Orang Eropa pertama yang merasakan rokok adalah Columbus dan kru-nya dalam misinya mencari jalur singkat ke India, namun malah menemukan Amerika. Ketika itu mereka bertemu dengan suku asli Karibia dan sekitarnya yang memang telah mengembangkan tembakau sebagai bahan utama rokok. Merokok tentunya, bagi kebanyakan orang, tidak cukup nikmat bila tanpa ditemani secangkir kopi. Begitu juga di Blitar.

Kebanyakan orang Blitar membuat sendiri kopinya, tidak seperti kita yang fanatik dengan kopi dalam kemasan. Kopi-kopi buatan Orang Blitar memiliki berbagai macam rasa, tergantung dari kebiasaan dan cita rasa sang pemilik rumah. Saya pribadi bolehlah mengatakan kopi dengan lambang sebuah "perahu besar" yang paling nikmat namun ketika hal itu saya utarakan, malah menjadi bahan tertawaan. Menurut mereka kopi tersebut memiliki banyak campuran dan kebanyakan jagung...entah lah benar tidaknya.

Buat orang Blitar yang terbiasa meracik sendiri kopinya dari awal memudahkan mereka merdeka memilih rasanya. Untuk beberapa kopi bahkan terlihat kasar di mana banyak sekali pecahan biji-biji kopi diatas air bila diseduh. Namun ternyata pecahan-pecahan biji kopi tersebut memang disengaja agar dapat digigit-gigit selain memang menikmati seduhannya. Ini, menjelaskan kenapa dulu semasa hidup ibu saya, yang lahir dan besar di Blitar, suka sekali mengunyah kopi tanpa menyeduhnya.

Satu hal lagi yang perlu dicatat bila anda mampir ke Blitar adalah jangan sekali-sekali memesan makanan pedas bila memang lambung anda tidak kuat. Orang Blitar memang bukan Orang Padang, namun rasa pedas dalam masakan mereka tidak kalah rruaaar biasanya. Bahkan bila memesan sepiring nasi pecel yang tidak pedaspun siap-siap peluh bercucuran dari tubuh anda.

Ahhh.... rasa pedas dilidah, secangkir kopi hangat dan sebatang rokok yang telah diolesi ampas kopi mungkin bisa menjelaskan kenapa orang sana bila berbicara kebanyakan dengan logat keras. Untuk yang tidak terbiasa akan menyangka sedang marah-marah Orang Blitar yang sedang bicara. Padahal seperti layaknya kebanyakan Orang Indonesia, tidak ada yang benar-benar murni "Manusia Indonesia" masing-masing memiliki ciri khasnya sendiri, yang kita lakukan hanyalah mencoba untuk mengerti dan sedikit mengkoreksi bila memang dirasa perlu.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home