Deireadh Fómhair 15, 2004

>>The Dark Side of The Moon<<




The Minnesota staff feel "harassed and intimidated by having to work in a public environment." I'm sure there are many other public library workers who feel they should be able to change something about where they work. Librarians work daily under conditions they would not tolerate in their own homes. Inadequate heat in the winter, abusive patrons, vandalism, unwanted sexual advances, and many more problems have always been present because, by its very nature, a public library is a public building. That is part of how it serves its critical mission. It is therefore also part of our mission to serve those whose tastes we find repulsive. As angry and upset as we may get at the things we see and experience, we shake it off in the staff room (sometimes accompanied by tears) and return to the desk with a smile on our face. That's part of why we are so special...and so important.

"A Librarian's Right to Comfort," American Libraries, June 2000 by Hillary Theyer, a branch librarian at Torrance (CA) Public Library.


Tahukah anda bahwa bulan terdiri dari dua sisi, yaitu sisi yang menghadap ke bumi dan sisi yang membelakangi bumi. Maksudnya, dari permukaan bumi manapun dan kapanpun, ketika anda melihat bulan maka yang terlihat adalah sisi yang itu-itu juga, sejak bulan diciptakan. Yah mungkin pernah geser dikit waktu Nabi Muhammad SAW menunjukkan ke-mukjizatan-nya dengan membelah bulan.

Any way, begitulah kadang-kadang ada selembar sisi yang kita tidak tahu tentang sesuatu. Sisi yang kita mungkin tidak pernah lihat, padahal posisinya tidak jauh jauh amat....bila ingin bersusah-susah sedikit saja menengok lebih jauh maka Anda akan melihatnya.

Perpustakaan, apa yang ada dalam benak Anda ketika mendengar kata perpustakaan? Gudang ilmu? Gudang buku? Tempat belajar? rekreasi (kadang-kadang)?...arsip sejarah perkemangan peradaban (huuuiih)??? Ok saya setuju bila Anda beranggapan perpustakaan lekat dengan image tersebut. Namun seperti yang saya ketik barusan pada dua paragraf di atas...there is always a dark side for anyhing.

Jadi, apa tuh the dark side-nya (TDS) perpustakaan? Wah jangan-jangan saya ingin bercerita tentang hantu-hantu di perpustakaan nih??? Hmmm... ide menarik, tapi sayangnya walau hantu seneng di tempat gelap dan kotor namun bukan itu yang saya maksud.

Kali ini TDS yang saya maksud masih ada hubungannya dengan aksi-aksi mahasiwa dan masyarakat yang marak akhir-aklhir ini yaitu demo anti pornografi dan pornoaksi. Eh eh!!!...Itu jangan terlalu gimanaaa ya, ingat sekarang bulan ramadhan, dan lagi pula kata pornografi tidak selalu ada sangkut pautnya dengan seperti yang ada di majalah FHM khan.... gawat nih. Lanjut ga nih?

OK kayaknya harus lanjut deh. TDS-nya perpustakaan memang lebih ketara ketika yang namanya kemajuan teknologi mulai merasukinya. Apalagi yang namanya jaringan internet menggurita dan memungkinkan pemakai perpustakaan mengakses internet dengan murah di perpustakaan.

Terlepas dari perdebatan apakah harus internet di senor dan dibatasi, soal pornografi melalui internet ini benar-benar mengganggu sekali. LIhat saja bagaimana baner baner iklan-populernya baner pop up-bermunculan dengan berbagai pose 'ajaib' ketika komputer nyala. Untuk penggemarnya mungkin menyenangkan, tapi bagi pemakai internet perpustakaan yang ingin riset??

Masalah pornografi di perpustakaan melalui jaringan internet ini tidak hanya dihadapi oleh perpustakaan Indonesia. Secara global bahkan di negeri sejuta maksiatpun mereka masih mengkahwatirkan hal ini dan merasa perlu untuk mengeluarkan peraturan anti pornografi : "Banyak jenis teknologi telah dikembangkan untuk mencegah penggunaan Internet oleh anak-anak supaya mereka tidak bisa mengakses bahan-bahan yang dianggap porno itu. Tapi itu saja agaknya belum cukup; sehingga Kongres Amerika pernah menyetujui sebuah rancangan undang-undang yang mengancam barang siapa yang "mengirim atau memasukkan bahan-bahan yang tidak sopan, baik dalam bentuk gambar atau tulisan", ke dalam jaringan Internet"

Sadar atau tidak dengan adanya demam pornografi di perpustakaan tentunya akan menggeser sifat dari perpustakaan itu sendiri sebagai tempat riset data. Kecuali Anda memang periset subjek pornografi, saya merasa bahwa memang perlu adanya penanganan serius untuk masalah ini.

Kata orang bahwa yang namanya media informasi tidak bisa disensor, apabilapun harus disensor maka kembalikan saja ke individu masing-masing. Lagipula menurut Onno W. Purbo yang namanya pornografi di internet masih tidak begitu signifikan
"Menurut penelitian Onno Purbo porsi diskusi keilmuan di internet berada pada kisaran 19 persen dari keseluruhan posting di internet. Angka ini termasuk jumlah yang signifikan, dan menempati peringkat kedua setelah posting yang sifatnya silaturahmi (21.9 persen). Pornografi yang selama ini dikhawatirkan ternyata berada pada prosentase yang lebih kecil, yaitu 12.9 persen. Penelitian Onno yang dimuat di situs ilmukomputer.com ini, memberikan harapan segar bahwa ternyata perhatian masyarakat terhadap perkembangan iptek cukup besar".

Jelas saya tidak setuju, yang namanya maksiat (setujukan kalo gemar pornografi itu maksiat) harus dicegah sedini mungkin. Walau dengan kuantitas yang masih lom terlalu signifikan, namun ternyata efeknya sangat rruaar biasa.

Hanya saja sekarang pertanyaannya.... bagaimana caranya?
Ada yang bisa bantu?


sumber :
http://www.usembassyjakarta.org/voa/porno042k.htm
http://www.lipi.go.id/www/www.cgi?baca&1097413590
http://www.newbreedlibrarian.org/archives/02.02.apr2002/feature.html
pict from corbis

0 Comments:

Post a Comment

<< Home