Iúil 29, 2004

a neighboor in need is a neighboor indeed


Sejak menjadi kepala rumah tangga kira-kira lima bulan lalu, saya belajar sesuatu yang berharga tentang dunia nyata keluarga. Bahwa tidak juga penyesuain diri dengan istri namun juga harus bisa membawa diri dalam sebuah lingkungan terkecil dengan komponennya yaitu tetangga.

Tetangga bisa dibilang salah satu faktor penentu baiti jannati, percaya? Karena hidup dilingkungan yang ga ramah sama aja tinggal di neraka membuat gerah dan kepingin pindah, padahal pindah rumah ga kayak ganti baju loh.

Lingkungan sekarang memang sedikit berbeda dari rumah orang tua yang saya tinggali sejak tahun 1979 lalu (maksudnya dr umur tiga tahun gitu) ya maklum aja deh dengan kondisi keuangan yang tidak begitu memuaskan kami hanya sanggup menempati sepetak rumah di sebuah kampung pinggirian Jakarta. Walaupun bukan pilihan yang pertama, tapi InsyAllah yang terbaik untuk saat ini.

Bagaimana berbedanya? sejak kecil saya tinggal dalam lingkungan komplek yang walaupun tidak kuper-kuper amat namun ada batasan yang tetap terjaga. Bahkan sejak awal tahun 90-an batasan itu semakin melebar hampir-hampir menyentuh area "lu mau apa kek gue ga peduli asal ga ganggu gue".  Sementara lingkungan saya sekarang walaupun tidak sampai satu kilo jaraknya dari rumah orang tua, namun berbanding terbalik sekali. Di sini hampir-hampir tidak ada rahasia, hari ini satu org tahu besok mungkin lima sampai sepuluh orang mahfum. Tidak cukup di situ saja, bahkan merekapun rasa-rasanya belum puas kalau tidak mencampuri manajemen keluarga saya, termasuk mau dibuang lewat mana air buangan hujan.

Yup tul, masalah talang air sejak pindah ke lingkungan baru ini memang menjadi biang heboh di antara kami dan tetangga. Karena keterbatasan ruang maka kami (saya, isteri dan mungkin juga para tetanga sedayananya) pada awalnya sepakat bahwa talang air kami buang lewat dalam rumah (ribet abis).  Dari loteng atas lewatin dapur terus lewatin lagi ruang tengah teruuuuuuus sampe depan dan dibuang deh ke got yang nota bene akan penuh nuh nuuuh ketika hujan deras.

Seminggu dua minggu its okay lah aer lancar-lancar aja tapi makin ke lama kok aer makin ga ketampung? apa yang terjadi? ternyata gotnya sudah tidak bisa terima aer lagi. Walhasil air hujan meluberi dapur dan menggenangi ruang tengah sampe-sampe masuk ke dalam kamar.
 
Thats it, akhirnya saya fikir itu talang harus langsung keluar ke jalan  samping rumah tanpa harus lewatin ruang tengah segala. Disinilah segalanya mulai ricuh, ada tetangga protes, mengancam akan ngisengin tuh talang...sampe sampe tetangga yang kalo dipikir-pikir ga kena cipratan juga ikut meninjau itu talang...Ajaib saya fikir karena dari logikanya saja pertama itu khan aer hujan yang ibaratnya sama dengan ketika bakar sampah meributkan asapnya lari kemana. Kedua tidak satupun dari mereka yang protes dan mengancam terkena imbasnya, entah kebanjiran atau apalah gara-gara aer buangan talangan dr atap saya.
 
Jadi bagaimana? ya sabar aja deh... sempet juga sih saya mengalah lalu saya masukkan lagi tuh talang.  Saya rela2in deh kebanjiran dikit pas hujan, sambil berdoa ya Allah berikan saya tetangga yang menyenangkan dan membuat hidup saya tenang. Sampai akhirnya doa saya terjawab lewat cara yang tidak disangka-sangka, tetangga yang paling keras menentang buangan aer talang saya tiba-tiba pindah ke Jawa.... uhuuuy!!!
 
Seminggu kemudian talang itu sudah nangkring lagi disamping rumah sambil saya tersenyum-senyum kegirangan dan menyiapkan strategi bagaimana menjawab protes tetangga laennya....saya fikir tidak akan begitu sulit meyakinkan mereka.
 
Home sweet home at last :D
 

0 Comments:

Post a Comment

<< Home