Iúil 12, 2004

Ksatria itu adalah....*


Ada beberapa kejahatan yang lebih kejam dari membakar buku di antaranya adalah tidak membaca buku (Jospeh Brodsky)

Pembakaran buku-buku yang sudah terjadi itu merupakan pengulangan sejarah bonfire of liberties (penghangusan kebebasan) yang pernah terjadi sejak masa kedinastian Cina, era Romawi kuno, sampai abad ke-20 lalu di Eropa dan Amerika Serikat.

Pembakaran buku, menurut catatan yang tersedia, telah terjadi ketika Kerajaan Babylonia yang dibangun Hammurabi (2123-2081 Sebelum Masehi-SM), dikalahkan Persia pada 539 SM. Berbagai manuskrip penting hancur akibat perang penaklukan itu. Tetapi, pembakaran buku untuk mencegah pengaruh suatu ajaran (pemikiran) dilakukan pendiri dinasti Qin di Cina daratan, Shi Huang-ti (246-210 SM). Dia memerintahkan pembakaran buku-buku Konfusian pada 213 SM.

Perpustakaan Besar Iskandariah (the Great Library of Alexandria) terbakar pada 47 SM. Ketika itu sang penakluk dari Roma, Julius Caesar, membakar kapalnya yang sandar di pelabuhan agar tak dirampas Mesir yang dikuasai dinasti Ptolemi. Tetapi, kobaran api kemudian juga memusnahkan berbagai bangunan di pelabuhan, termasuk perpustakaan yang disebutkan berisi 400.000 gulung manuskrip di atas kertas papirus. Perpustakaan itu dibangun Ptolemaeus Soter (350-283 SM) di areal pelabuhan Iskandariah untuk memelihara kebudayaan Yunani di tengah konservatisme Mesir.

Pada milenium pertama, Kaisar Romawi Theodosius (378-396 M) memerintahkan untuk menghancurkan Pustaka Besar Iskandariah, yang dibangun kembali oleh Antonius pada 41 SM. Perulangan sejarah bonfire of liberties juga terjadi di berbagai kota di Amerika dan Eropa pada abad ke-20.

Yang menonjol adalah pembakaran buku yang berbau subversif dan tidak berakar pada pandangan hidup Jerman oleh Partai Nazi pimpinan Hitler. Buku-buku dimusnahkan dalam api unggun yang panasnya mencapai 451 derajat Fahrenheit, bulan Mei 1943.

Di Indonesia sendiri pernah terjadi hal yang serupa sekitar Mei 2001 pada buku-buku yang dituduh berbau kekiri-kirian di Bandung dan Jakarta dan hampir-hampir saja meluas lebih besar bila tidak dibatalkan.

Bonfire of liberties di abad modern ini sangat merisaukan banyak ilmuwan. Alfred Whitney (1906-1963), seorang pendidik dan sejarawan AS, dalam bukunya berjudul Esei Tentang Pendidikan, menulis bahwa buku tidak akan bisa dibakar. Ide-ide tidak akan mungkin dipenjarakan. Satu-satunya senjata yang ampuh melawan ide-ide buruk adalah dengan ide-ide yang baik. Dan sumber ide-ide yang baik adalah kebijaksanaan.

Terlepas dari apakah ikut membakar atau tidak tetapi saya merasa menjadi pustakawan adalah seperti seorang ksatria pada abad pertengahan, hanya saja saya tidak mengawal bangsawan atau seoarang raja, namun saya adalah ksatria dengan tugas menjaga pusaka ilmu, sari pati kemanusiaan yang tertuang dalam sebuah kristal dengan nama "buku".

Sadar atau tidak menjadi pustakawan tidak semudah seperti yang dibayangkan oleh masyarakat umum. Tentunya sadar bukan, apalagi saya berbicara dengan anda yang juga berprofesi sebagai pustakawan, atau paling tidak sesuatu yang mirip dengan pustakawan (bintang sinetron tidak termasuk).

Diatas dikatakan bahwa sebuah ide yang tertuang dalam buku tidak mungkin untuk dmusnahkan walaupun secara fisik buku itu terbakar tetapi ide-ide di dalamnya akan terus berkembang, hanya satu saja cara untuk melawannya yaitu dengan memunculkan ide-ide baru yang pastinya lebih baik. Oke mungkin bukan saya yang akan memunculkan ide-ide tersebut tetapi tugas saya sebagai seorang kstaria menuntut untuk menjaga kristal-kristal itu, kelak akan diturunkan pada generasi yang datang karena dengan mereka pasti kristal itu akan beranak pinak.

..."bumi boleh berputar, Sang waktu pun akan terus berjalan. Namun kita, kita akan selalu bersama, Saudaraku. Berperang dan menegakkan bendera kehormatan manusia"...(Nonot Supriyanto dalam cerpen Bendera)

*dari berbagi sumber, terutama "Harian Suara Pembaruan".

Posting ini saya kopi dari tulisan saya di blog sini

0 Comments:

Post a Comment

<< Home