Meitheamh 19, 2004

Lamunan Pagi Hari Tadi.....

Baru saja ayam berkokok, saya merapihkan jaket dan menyalakan motor. Pagi-pagi belum lagi jarum jam menempel di angka enam saya berangkat sambil melempar senyum ke istri yang berdiri di depan pintu dengan melambaikan tangan. Kabut masih menggantung di sana sini, ibu-ibu yang biasanya tiap sore memiliki kebiasaan untuk merumpipun tampak enggan keluar hawa dingin lambat laun mulai menusuki tulang jari-jari saya yang memang tidak terlindungi sarung tangan.

Kampung Curug di Ujung Jakarta Timur, bisa dibilang Ujung Jakarta, karena beberap meter dari kediaman kami sudah masuk ke bagian Bekasi. Bahkan ada satu rumah yang dapurnya Bekasi sedangkan Ruang Tamunya Jakarta. Sungguh aneh bila difikir, kenapa ada garis yang memisahkan sebagian Jakarta sebagian Bekasi. Katanya sih dulu kenapa ada Bekasi kenapa ada Jakarta karena tiap daerah memiliki historis dan akar budaya yang berbeda. Apalagi Jakarta yang sejarahnya dibangun oleh berbagia etnis dan bangsa, sementara Bekasi itu seperti Indonesia dan Australia sekarang, yang terpisah baik jarak maupun sejarahnya.

Tetapi sekarang, Bekasi atau jakarta hampir-hampir tidak ada bedanya. Yah, karena perkembangan jaman membuat asimiliasi demikain masivenya hingga sepertinya Jabotabek bukan lagi daerah yang terkotak-kotak berdasarkan akar budaya yang berbeda namun lebih seperti sebuah kota yang sangaat besar.

Saya dan delapan juta lebih warga Jakarta lainnya sedang melawan dingginya pagi karena kalau berangkat siangaan dikit saja akan terjebak dgn lautan macet. Kata orang demi sesuap nasi apa sih yang ga bisa di lawan? Jangankan dingin seperti ini, gunung es pun dilibas. begitu juga seratus tiga puluh empat juta jiwa warga Pulau Jawa lainnya, walaupun saat ini mereka masih nyenyak di peraduannya (ga kena macet sih...jd ngiri) tetapi tidak ada yang akan menghalagi mereka untuk mencari nafkah.

Bayangkan seratus empat puluh dua juta orang tinggal di Jawa, seratus empat puluh dua juta orang bersama-sama menghirup udara Pulau Jawa, seratus emp...ah capek ngetiknya. Intinya adalah, kok banyak banget yah org yang tinggal di Pulau Jawa, pantes aja rasanya padet banget...beda dengan Gurun Sahara (ya jelas bedalah). Ini berati sekitar enam puluh lima persen penduduk Indonesia tinggal di Pulau yang besarnya ga lebih dari 12.524.357 hektar.

Ternyata bukan kita saja loh yag ngeluh bahkan sejak zaman penjajahan dulu Pulau Jawa terkenal dengan pertumbuhan penduduknya yang demikian cepatnya. Tahu tidak? Selama abad kesembilan belas (abad kesembilan belas itu berarti ditandai dengan awal angka tahun 18...info aja buat yg ga tau :P) orang Jawa bertambah empat kali lipat. Awal 1800 hanya tercatat tujuh setengah juta org sedangkan awal 1900 sudah tercatat sekitar tiga puluh koma empat juta jiwa orang tinggal di Jawa sodara-sodara. Padahal saat yang sama India dan Jepang hanya bertambah dua kali lipat saja.. ck ck ck orang Jawa sakti juga ya.

Katanya sih kalo aku cek di perpustkaan, nah itulah gunanya akrab dengan perpustakan jadi tau macem macem (deuuu), orang Jawa itu tipikalnya ga terlalu kuatir dengan masa depan, jadi enjoooy aja meeen. Tetapi soal ledakan penduduk Pulau Jawa selama abad 18 dibantah ama ilmuwan keturunan Indonesia pada tahun 70-an namanya kalo ga salah Widjojo Nitisastro. Katanya soal ledakan penduduk itu hanya karangan pemerintahan Kolonial di Indoensia....ya biar keliatan kalo org Jawa makmur gitu ...bissa aaja deh tuh penjajeh ye.

Terlepas bener apa salahnya, yang saya sendiri ga tau. Kok bisa ya itu orang memperkirakan jumlah penduduk pulau Jawa? padahal khan yang namanya sensus aja saya baru tahu pas tahun 85-an, itu looh yang disebut sebut sensus nasional. Eits tapi tunggu dulu, ternyata yang namanya sensus penduduk itu...(sreet sreet Iman lagi buka-buku koleksi perpustakaan) udeh pernah di lakuin sejak tahun 1600...berati itu enam abad yang lalu, oleh Raja-raja Jawa. Sejak kedatangan Belanda sampai kemerdekaan Indoensia sudah dilakuin puluhan atau mungkin bahkan ratusan kali sensus penduduk, tentunya dengan tujuan masing-masing tergantung kepentingan pemerintahan yang berkuasa.

Kopaja nomor 19 berhenti Sembarang di depan Bunderan Walikota Jakarta Selatan, saya yang berada di belakangnya sedikit berakrobat agar tidak menababrak pantat kopaja kurang ajar tersebut. Lamunan saya tentang Pulau Jawa tiba-tiba buyar, Sebaiknya saya konsentrasi saja pada jalan di depan deh, karena beberapa menit lagi pagar kantor akan terlihat.

Dan dingin pagi yang tadi masih menusuk-nusuk tergantikan dengan hangatnya sinar matahari yang mulai bermunculan dari balik balik daun pepohonan sepanjang Jalan Brawijaya....aah kapan-kapan saya ingin berhenti di sini sebentar saja dan menikmati jalannya matahari menembusi dedaunan ini.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home