Meitheamh 29, 2004

What is being beautiful?



Belum lagi lewat sebuah acara di televisi, relity show katanya, me-tema-kan tentang perburuan gadis-gadis muda dan cantik dengan tinggi tidak kurang dari 170 cm untuk menjadi model idaman. Saya kurang begitu faham bagaimana isi kompetisi yang diadakan oleh televisi swasta yang berlokasi di Daan Mogot Jakarta, tetapi saya bisa menangkap bahwa mereka menyaring gadis-gadis belia untuk dijadikan model.

Saya sendiri sebenarnya sangat tidak berminat untuk mengikutinya, namun tak urung kadang-kadang tertangkap juga sepotong dua potong episodenya. Ada beberapa catatan yang saya buat, saya terbuka atas semua kritik atau masukan, dan meluruskan bila apa yang akan saya tulis berikut salah.

Catatan pertama yang menurut saya cukup mengganggu ketika tidak sengaja saya melihat sebuah episode di mana di dalamnya beberapa gadis menangis menyesal karena tinggi badannya tidak sampai 170 cm. Antara lucu dan tidak lucu, lucu karena kok mereka menangisi bentuk fisiknya yang pendek, padahal di sisi lain subhanallah parasnya cantik, pokoknya sempurna deh dan gak kalah dengan kontestan lain yang lolos, cuman beda sesenti dua senti saja. Padahal yang namanya tinggi badan berbeda dengan keahlian, atau skill. Skill dapat diusahakan, dapat ditambah dengan belajar dan dapat juga berkurang dengan mendiamkannya. Sedangkan tinggi badan adalah sesuatu yang alami sifatnya, apalagi yang harus diusahakan bila keturunan keluarga mereka DNAnya di bawah 170 cm? Mereka yang menangis seakan menyesali keadaan tubuhnya, dan menyalahkan Tuhan karenanya, naudzubillah.

Maksudnya tidak lucu begini. apa bedanya sapi perah dan model? tidak ada! Sapi perah dinilai dari tubuhnya yang gemuk, badannya yang secara fisik besar dan sehat. Model, dipilih karena (Salah satunya, dan itu mutlak) tinggi badan minimal 170 cm. Menggelikan di saat katanya emansipasi wanita harus disesuaikan dan dibenahi di sisi lain mereka berbondong bondong mengadu nasib pada kompetisi yang 90 persen menilai tidak lebih dari kulit luarnya.

Satu lagi catatan menyusul, ternyata saat itu yang antusias dan menangis bukan pesertanya saja, ada orang lain di situ. Orang tua mereka, yang saya liat sih, ibu seorang peserta ikut menangisi anaknya yang tidak lolos seleksi tinggi badan itu. Kalau jaman dulu yang namanya menjadi model rasa-rasanya ortu agak-agak risih ternyata sekarang bukan hanya risih tapi mendukung, bahkan menemani alih-alih mensupport anaknya.

Salah kaprah? saya rasa tidak. Tidak ada dimanapun orang tua yang mau melihat anaknya menjadi objek (maaf agak kasar sedikit) hawa nafsu mata-mata "lapar". Saya yakin bila di tempat lain ibu atau bapaknya memergoki putrinya dipandangi lekat-lekat oleh pria-pria yang... yaa tau lah yang gimana. Tentunya minimal mereka akan risih dan minggir,...ngedamprat atau ngegampar nggak jadi soal...harga diri meeen. Tetapi dorongan agar anaknya menjadi terkenal dan ngetop mengalahkan semuanya, ujung-ujungnya duit dooong? ya sieeeh, memang apa lagi yang di dapat dari ketenaran "gaya" begitu? Kalau materi sudah menjadi ukuran memang beda deh standar moralnya.

*renungan jam makan siang di warteg jalan Brawijaya satu"

0 Comments:

Post a Comment

<< Home