Lúnasa 24, 2006

Permainan Belaka




Tujuhbelasan belum lagi seminggu lewat aura merah putih masih terasa di mana-mana. Para tetangga bahkan masih enggan menurunkan bendera yang terpampang manis di depan rumah masing-masing, tidak perduli walau hanya tertambat pada sebatang bambu.

Masih terasa teriknya matahari siang bolong pada kemarau panjang ini di atas Kalimalang. Ya, saya bersama isteri pada saat 17 Agustus kemarin menyaksikan apa yang telah dua tahun ini digaungkan sebagai "Festival kalimalang". Walau baru saja "secara resmi" menjadi agenda tahunan pariwisata Pemda Jakarta, namun sebenarnya perayaan 17-an di atas Kalimalang dengan perlombaan khasnya yakni panjat pinang sebelumnya telah berlangsung selama bertahun-tahun.

Bicara soal lomba, tidak berbeda dengan tahun-tahun lalu perayaan 17-an biasanya diramaikan dengan lomba panjat pinang, tarik tambang dan makan kerupuk atau yang mirip yaitu menyomot uang logam yang di tancapkan pada buah pepaya yang sudah dilumuri arang atau jelaga.

Tidak pernah ada yang tahu kapan dan siapa sebenarnya pencetus pertama lomba-lomba tersebut. Tentunya yang pasti lomba yang biasa diadakan saat 17-an tersebut tidak pernah ada sebelum kemerdekaan kita.

Lalu apakah makna dari lomba dan perayaan dengan jenis yang saya sebut di atas ? Apakah hanya ajang senang-senang belaka atau ada sesuatu yang harus diambil hikmahnya? Sebenarnya tidak tepat juga bila dituduh panjat pinang, tarik tambang dan makan kerupuk atau jenis lomba lainnya hanya sebagai sarana pelampiasan kegembiraan belaka. Tahukah anda, paling tidak menurut saya, bahwa ada 17-an adalah sarana pendidikan yang (mungkin saja) ditanamkan oleh pemerintah Indonesia (pura-puranya bermain teori konspirasi).

Sebenarnya dengan perlombaan semacam tarik tambang, panjat pinang dan makan kerupuk kita di ajari untuk menerima bahwa hidup di Indonesia semakin sulit dan penuh dengan persaingan. Lapangan pekerjaan yang semakin sempit sementara jumlah usia manusia yang harusnya bekerja di Indonesia semakin bertambah saja. Karena itu jumlah kesempatan pekerjaan yang sedikit itu akan semakin ketat diperebutkan hanya yang paling kuat yang akan menang (tarik tambang).

Dalam bekerja tidak bisa tidak anda harus bekerjasama dari kerjasama ala malaikat atau sekotor yang dilakukan iblis dan setan-setan alas sekalipun sering kali kita lihat dalam urusan mencari rejeki. Kadang kerjasama bukan berarti adil, tidak perlu semua mendapatkan bagian sesuai dengan kerja keras dan usaha yang dilakukan. Dalam meraih tujuan bukan hanya me"masang" badan bahkan sering kali kepala sendiri harus rela diinjak-injak demi memberi kesempatan yang lain untuk naek ke atas dan meraih apa yang dicita-citakan bersama. Setelah tujuan di dapat...eeeh hasilnya dibagi rata, padahal logikanya yang paling bawah yang menahan beban paling lama dan paling berat dibanding Si pemetik "kado" (panjat pinang).

Walaupun begitu ada saja orang-orang yang memilih untuk soliter, mencoba untuk berjalan sendirian saja. Tapi tidak ada yang jamin bahwa cara ini lebih mudah dibanding ketika bekerjasama dalam sebuah tim. Bayangkan, banyak hal-hal yang seharusnya bisa dilimpahkan ke orang lain namun harus anda kerjakan sendiri, seperti kehilangan anggota tubuh lainnya. Tangan terikat, kaki tidak sanggup mengganti fungsi tangan..praktis hanya mulut saja yang berfungsi sebagai pengunyah, pencekram sekaligus sebagai tangan anda. Belum lagi anda haru berpacu dengan pesaing-pesaing lainnya pada saat yang bersamaan. (lomba makan kerupuk)

Saya sendiri ada di posisi yang mana? ahhh...saya cukup menjadi pengamat saja merekam dengan kamera kesayangan setiap momen dan membekukannya dalam selembar objek dua dimensi. Kali aja pada waktu ke depan ada orang lain yang akan menjadikannya sebuah pelajaran (pustakawan).

Jadi teringat seorang teman yang pernah berkata, "setiap permainan adalah pembelajaran, bahkan untuk anak TK yang bermain perosotan". Lagipula....bukankah hidup ini hanya permainan belaka, "kehidupan" sebenarnya justru dimulai ketika telah meninggalkan dunia fana?


0 Comments:

Post a Comment

<< Home