Manusia Hujan
Kadang, harus aku aku, merindukan seorang sahabat yang telah lama hilang, tiba-tiba muncul di balik pintu, mengembalikan kehangatan yang telah lama mendingin dan mulai membeku adalah sebuah keinginan yang sudah terpendam sangat lama dan akan mencuat. Sehangat api kompor yang setiap pagi menyapa ibu-ibu dengan radiasi sinar-sinarnya yang menembus di antara sumbu dan jelaga. Karena itu aku kemarin ingat kamu manusia hujan.
Air hujan sejak lima menit yang lalu semakin lama bahkan semakin deras saja mewarnai jendela patas AC jurusan Blok M - Kampung Rambutan. Tetes-tetes hujan, ada yang menabrak kaca dengan kerasnya hingga menghancurkan formasi molukel-molekul hidrogen dan oksigennya menjadi lebih kecil. Ada juga yang jatuh pelan-pelan mengikuti pola yang telah terbentuk oleh debu dan kotoran di atas jendela bahkan lama sebelum musim hujan itu datang. Berjalan berlahan kadang kencang berkelok-kelok seperti sungai di tengah belantara Kalimantan.
Udara yang dingin di balik sini, lebih dingin dari luar sana sampai-sampai sepulau-dua pulau embun mulai terbentuk di sisi jendela bagian luar. Manusia Hujan, ya itu kau bukan kenapa kami selalu menyebut-nyebut kamu dengan manusia hujan? Yah kamu tahu pasti sebabnya. Kamu begitu memuja hujan, kamu bahkan berkali-kali berkata bahwa hujan mengarsir dunia. Padahal kami di kampus biasa-biasa saja, sering kali bahkan langsung lari terbirit-birit mencari tempat berteduh, namun kamu seakan asyik saja menikmati tetes demi tetes menerpa kepala dan bahumu....ahh kamu memang manusia hujan. Untung saja kamu selalu membawa baju esktra karena sering kali tidak sadar semua bajumu di badan sudah lepek.
Sudah capek kami mengingatkan kamu, tapi kamu kok sepertinya tidak pernah mempan. Tetap saja kamu terobsesi pada hujan. Mau hujan rintik-rintik, hujan derasa atau hujan biasa-biasa saja. Pokoknya yang namanya hujan dan masih berbentuk air maka kamu begitu terpsesona setiap kali gejala alam itu turun. Aku tidak pernah berfikir apakah kamu juga akan suka bila ternyata di sini yang turun saudara kandunganya air; es dan salju.
Sore itu, persis dengan hari ini dibalik bus, di halte tempat para mahasiswa, tukang es teh botol dan tukang koran berkumpul tiba-tiba katamu kamu terlalu tua untuk menangisi masa lalu, detik-detik yang penuh dengan tertanda miris. Sesuatu yang sangat buruk dalam masamu. Semua sudah tutup buku, usang oleh ketiak alam. Jadi tak ada alasan bagimu untuk hidup menderita hanya dengan membukanya kembali.
Aku fikir saat itu kamu ingin membahas tentang cerpen dari majalah Prosa terbaru, karena aku tahu itu kata-kata kamu ambil dari cerpen Salamah karya Herlinatiens. Kami memang kerap kali berkunjung ke perpustakaan melihat-lihat buku terbaru. Namun jarang sekali meminjamnya tanpa alasan khusus.
Ya lalu kenapa dengan cerpen itu? Kamu memberikan aku pandangan itu "Aku serius kok" sekali lagi melihat ke mataku. "Kamu fikir aku lupa, itu kan dari majalah yang tadi baca ketika bolos kuliah".
Tidak, padahal aku kira kamu becanda, kamu bilang kamu memang serius. Ingin berubah melupakan semua tentang manusia hujan dan apapun yang berhubungan dengannya. Bahkan melihat cipratan air keranpun kamu ogah. Tidak juga percikan air comberan? Tanyaku iseng. Ya tidak, jawabmu mantab.
Ya sudah kalau memang maumu...belum lagi selesai apa yang aku ucapkan. Entah dari mana wanita itu, berjilbab merah dengan jeans dan baju yang super ketat, mode yang sepertinya semakin hari semakin banyak saja. Tukang teh es, koran, kamu, pengendara motor, tukang becak, pak polisi, supir bus dan juga aku tiba-tiba saja seperti tersedot si jilbab merah, sampai akhirnya menghilang di balik halte.
Saya tidak bercanda, kamu tahu itu. Sejak pertama kali aku bertemu dengannya baru kali ini aku dengar dia memanggil dirinya dengan kata saya. Dan baru kali ini aku menyebut dia dengan dia, membuat aku ada di Gunung Pangrango dan dia ada di Puncak Jayawijaya terbenam dalm salju. Sudah...sudah cukup dengan semua ini saya. Semakin ganjil saja aku mendengar dia manaruh kata saya di belakang kalimatnya.
Dia tiba-tiba bangkit dan berlari mengejar bis. Aku beteriak memanggil Tunggu!! Kataku. Kenapa aku tidak pernah tahu sebab kamu dulu suka hujan?? Kamu melambai bertanya balik Apa?? Juga dengan teriakan.
Kenapa?? Hujan??
Apa??...
Kenapa?? Hujan??
Karena ....
Apaaaaaa????
Semakin hilang dan akhirnya aku hanya bisa memandang titik berasap di kejauhan.
Mendung yang sejak tadi menggantung mulai menurunkan prajurit-prajuritnya meretas di antara genteng-genteng halte lalu jatuh ke tanah. Namun kali ini tanpa kilat dan gledek meninggalkan jejak masa lalumu di dalam sini.
Hujanpun semakin deras saja
0 Comments:
Post a Comment
<< Home