Ramni jauh sebelum Tsunami
Ya, saya minta maaf pada Dana dan majalah tempat dia bekerja karena sampai detik ini masih belum juga memuat tentang wisata perpustakaan. Karena entah kenapa sejak lusa lalu saya menyanggupi untuk menulis sebuah artikel tentang pengenalan perpustakaan pada dunia anak, kok tiba-tiba semangat menulis saya down....Dan ternyata saya sadar bahwa ini yang selalu saya hadapi ketika hendak menulis sesuatu yang serius.
Benar-benar kehabisan ide, kekeringan ide, kemarau panjang dalam benak dan pikiran saya. Saya tersentak bahwa selama ini saya menulis dengan cara yang mengalir begitu saja, bahkan saya tidak pernah menggunakan outline...apalagi memikirkan grammar dan EYD. Belakangan makin banyak saja orang yang protes dengan EYD saya yang ga karuan...merusak cita rasa bahasa katanya.
Kemana ide-ide saya ada yang tahu? Apakah ikut-ikutan tersedot tsunami di ujung Sumatera sana hingga kemarau panjang melanda benak saya?
Bicara tentang Tsunami tentunya sudah pada tahu bagaimana dahsyatnya itu bencana melanda sebuah titik di ujung Nusantara ini. Sekali dua kali sapuan ombak akibat gempa tektonik tengah laut, seratusan ribu jiwa melayang...sungguh celaka orang orang yang masih bisa melupakan Tuhannya setalah bencana itu.
Ramni untuk orang arab dan Lan-li, Lan wu-li, nan wu li atau Nan-Poli untuk Orang Cina begitu Aceh disebut sebut sebelum kedatangan Portugis di bumi Aceh sekitar tahun 400 masehi. Entah mengapa sejak datangnya Portugis kata Aceh menjadi sebutan untuk daerah di ujung Sumatera itu. Beberapa legenda dari yang serius sampai yang sepertinya sedikit bercanda menyebut-nyebut awal muasal kata Aceh.
Suatu saat, ketika awak sebuah kapal dari Gujarat mendarat di Aceh dan menurunkan barang-barang bawaannya di sungai Tjidaih (baca: Tjeudaih artinya cantik) tertimpa hujan yang sangat lebat sehingga memaksa awak kapal tersebut untuk berteduh di bawah sebuah pohon rindang, sambil memuji-muji daun tempat mereka berteduh orang-orang Gujarat berkata..."Aca, Aca..Aca!!!" sejak itu bila ada yang berkunjung ke tempat awak kapal Gujarat itu datang akan menyebut daerah itu dengan Aca...lama kelamaan menjadi Aceh. Tapi itu hanya mitos.
Aceh sejak jaman dahulu terkenal dengan nuansa Islamnya yang begitu kental. Tidak heran kenapa Aceh dijuluki dengan Serambi Mekah, karena memang tingkah laku masyarakat Aceh tidak jauh dari saudara-saudaranya di Mekah...(mudah2an saat ini kita tidak menyebut Serambi Mekah dengan kata "konon" di depannya).
Hubungan Aceh dengan dunia Islam begitu eratnya. Bahkan tercatat sejak tahun 1537 masehi Sultan Ali Riajat Sjah dari Aceh menjalin hubungan dengan Khalifah Islam yang berpusat di Turki dengan Sultannya Salim Chan.
Sebuah cerita unik saya baca di perpustakaan kantor saya, kasiaaan deh yang ga punya perpustakaan, (HARI GINI GA ADA PUSDOK??!!). Sebuah buku terbitan tahun 1961 memuat tentang sejarah Aceh bercerita pada saya tentang sebuah catatn sejarah yang mungkin tidak akan pernah ditemukan pada buku sejarah manapun saat ini.
Singkat kata, suatu waktu sang sultan Aceh (Sultan Iskandar Muda) berkehendak mempererat hubungan kerajaannya dengan Khalifah Islam di Turki. Sang Sultan merasa penting untuk melakukannya karena saat itu Khalifah Islam bertanggung jawab menjaga kota-kota suci Islam seperti Mekah dan Quds. Selain itu juga pada zaman tersebut khalifah Islam memiliki kekuatan yang sangat diperhitungkan oleh negara-negara besar laennya. Apalagi Aceh pada saat itu menghadapi gangguan dari Portugis (terkenal dengan misi gold, glori, dan gospelnya) yang mencoba untuk menjajah kerajaan tersebut.
Ok, lalu berdasarkan nasehat menteri-menterinya Sang Sultan mengirimkan tiga buah kapal dengan diisi hasil-hasil bumi asal Aceh, seperti lada, pinang beras dan padi kepada Khalifah Islam di Turki. Sultan Aceh saat itu menunjuk Njak Dum yang langsung diangkat menjadi panglima untuk memimpin ekspedisi ke Turki. Kenapa Njak Dum dipilih? dari buku yang saya baca sih karena keahiliannya berbahasa Arab.
Ternyata saudara-saudara, nenek moyang kita tidak sepenuhnya seorang pelaut. Bayangkan perjalanan menuju Turki yang seharusnya hanya memakan waktu beberapa bulan saja dengan kapal layar. Namun ekspedisi yang dipimpin Njak Dum memakan waktu sampai dengan total jenderal dua tahun. Katanya sih akibat mualim dan awak kapalnya yang belum menguasai trayek ke Turki. Ternyata konsep learning by doing bukan diperkenalkan oleh Microsoft namun oleh mualim kita dari Aceh itu.
Begini kira-kira rute yang mereka tempuh sebelum akhirnya sampai ke Turki : Maksudnja dari pelabuhan Atjeh hendak ke Madras tapi dibuang angin ke Teluk Calcutta. Beberapa lama disitu menunggu angin teduh barulah berlajar lagi menjusur ke Pulau Ceylon. Dari Ceylon masuklah ke Teluk Parsi sampai ke Bombay dan berangkat dari situ baru menjebrang Laut Sikatra sampai ke Pulau Madagaskar dan terus ke Tandjung Harapan (Afrika selatan). Dari Situ baru menjusur Pantai Laut Atlantik, lama kelamaan sampailah di Teluk Stambul dibawa angin dan arus dalam samudera yang besar itu. Habis akal tawakallah mereka itu serta menjerahkan nasibnja kepada Allah Subhanahuwata'ala, berlajar dari sebuah benua ke benua, dari sebuah bandar ke sebuah bandar. Tiap-tiap teluk disinggahinja akan menanjakan dimana Benua Rum (red Turki) itu. Maka dengan takdir Tuhan jang Esa. sesatlah djalan kapalnja itu sehingga hampir dua tahun terapung apung ditengah lautan. (diketik sesuai ejaan tahun 61 biar nining ga protes)
Akhirnya memang mereka sampai juga di Turki namun dengan hadiah yang tadinya untuk Khalifah sudah habis dimakan dan dijual untuk menghidup mereka selama dua tahun perjalanan tersebut. Namun walau Njak Dum ketakutan tak urung mereka disambut dengan hormat di Turki, bahkan ketika pulang ke Aceh mereka disertakan dua belas orang Turki yang ahli perang dan sepucuk meriam....dan oh ya tak lupa Khalifah menyertakan juga seorang nahkoda asal Turki yang sudah lihai menguasai lautan.
Kisah Njak Dum terkenang dalam sebuah pantun Aceh :
Dengo lon kisah Panglima Njak Dum
u nangore Rum troih geubungka
meriam setjupak troih geupuwoe
geupeudjarow bak po meukuta
"Dengarkan kisah Panglima Njak Dum
berlayar sampai ke negeri Rum
meriam secupak dibawa pulang
diserahkan kepada Sultan Iskandar Muda"
Sumber
Tarich Atjeh dan Nusantara oleh HM Zainuddin
0 Comments:
Post a Comment
<< Home