Tracking down the ancestor
Mencari jejak nenek moyang, begitulah yang saya rasakan setiap kali pulang kampung. Entah ke Blitar, kampung asal ibu saya, atau ke Kemiri, kampung asal ayah saya. Apalagi saat lebaran kemarin setelah hampir genap enam tahun tidak pernah menginjakkan tempat asal Sambel Pecel Karang Sari berasal.
Blitar sebuah kota kecil, tidak lebih besar dari Bekasi terletak di Timur Pulau Jawa. Bila anda berjalan dari arah barat maka sebelum Blitar ada dua kota yang cukup terkenal, yaitu Kediri dan Tulungagung. Kediri dengan rokok Gudang Garamnya dan Tulung Agung sebagai kota penghasil marmer.
Jakarta-Blitar bila dilakoni dengan kereta (ekonomi) rata-rata akan memakan waktu 18-20 jam. Perjalanan dengan kereta ini selalu menjadi pilihan utama saya setelah kendaraan pribadi yang biasanya lamanya perjalanan sangat tergantung dengan situasi jalan. Kedua-duanya baik mobil atau kereta menghidangkan pemandangan yang cukup khas Pulau Jawa sepanjanag perjalan ke Blitar. Pantura dengan Pantai Utaranya dan bau udang yang menyengat serta perbukitan setelah memasuki jalur selatan ke arah Solo...semuanya tipikal Jawa.
Hanya ada satu catatan kecil ketika saya pulang kampung waktu lebaran lalu. Di mana ketika melewati Pantura bukan lagi bau udang dan pantai yang tercium namun sengatan semerbak bunga melati memasuki gerbong kereta mengiringi sinar matahari yang baru saja muncul. Memang, entah sejak kapan, saya perhatikan beberapa hektar sawah telah berubah menjadi ladang melati. Katanya sih untuk bahan baku campuran teh.
Kembali ke Blitar, Kota yang sudah berdiri sejak 1906 (1906 merupakan tahun legal yang ditetapkan oleh kolonial Belanda) merupakan tempat tinggal sembilan puluh persen dan saudara dari garis ibu saya. Jadi tak heran, bagaimana saya sering kali mengaku sebagai orang Blitar dibanding Kemiri. Selain faktor itu, juga karena Ayah saya tidak lagi memiliki saudara dekat di sana.
Blitar, seperti juga kota-kota kecil di Pulau Jawa, tidak mengalami perubahan banyak. Saya catat kemarin beberapa perubahan yang cukup signifikan adalah gaya hidup masyarakat Blitar yang sudah lebih ke-Kota-an. Bahkan beberapa kali saya menemukan mode wanita di sana tidak kalah dengan Jakarta.....sedikit berlebihan bahkan. Ya tahu khan anda, model baju ponakan, yang bila duduk maka bagian dari pakaian anda harusnya tersembunyi malah terlihat dengan jelas. Namun ada satu sisi positip juga dimana semakin banyak wanita-wanita Blitar yang tidak malu-malu lagi untuk berjilbab, mengingat enam atau tujuh tahun yang lalu untuk sebuah pesta yang di pisah antara wanita dan pria saja sangat menghebohkan.
Sementara perubahan fisik Kota Blitar yang saya lihat paling signifikan adalah kampung sebelah rumah nenek saya. Beberapa kilo meter jalan telah di aspal, Lainnya masih sembilan puluh lima persen persis sama dengan enam atau tujuh tahun lalu. Ironis memang mengingat dua orang presiden RI memiliki rumah di sana.
Oh iya,....mohon maaf! Saya hampir-hampir saja lupa. Ada sebuah kebanggan tersendiri buat saya yang kemarin pulang ke Blitar setelah sekian lama menghilang....Adanya sebuah perpustakaan dengan desain yang indah bersebelahan dengan makam Bung Karno. Sayang tidak sempat untuk mampir mengingat waktu yang sangat terbatas. Beberapa bagian sekitar makan juga mengalami perombakan besar-besaran. Sepertinya lampu merah sudah cukup banyak di sana, menandakan semakin crowdednya lalin Kota Blitar. Bila anda berkunjung ke sana enam atau tujh tahun lalu, seingat saya belum ada lampu merah di sana. Bilapun ada maka tidak difungsikan...saking sepinya tuh kota.
Tidak heran khan bila saya bilang tadi, seperti meniti kembali jejak nenek moyang....karena memang kota Blitar tidak banyak berubah....hanya sebuah ingatan yang beringsut sesenti saja :) Bila saya ditanya apakah saya mencintai kota itu? Rasa-rasanya saya akan jawab, "Setiap kali pulang ke Jakarta, ..sepertinya ada saja sesuatu yang tertinggal di sana, yaitu...hati saya".
0 Comments:
Post a Comment
<< Home