Feabhra 17, 2005

Malam Rabu 21.10 WIB, 15 Februari 2005



Tertatih-tatih bapak itu meniti tanjakan yang sebenarnya tidak begitu tajam. Tetapi untuk dia sepertinya perjuangan yang cukup memeras keringat dan merenggut kenyaman persendian tulang-tulangnya.

Siapa yang bisa nebak usia bapak itu? Enam puluh? Tujuh puluh? Atau delapan puluh?... ahh mungkin dia sendiri tidak pernah bisa menyebutkan berapa tepat masa telah dia lewati. Bila ditanya dulu pada ibunya kapan dia lahir akan dijawab dengan sama dengan umur pohon jati di depan rumah yang entah sejak kapan pohon itu berdiri di sana.

Dari sisi itu sepertinya saya masih lebih beruntung, selembar akte kelahiran memberi catatan tanggal kelahiran. Ditambah sepotong KTP yang saya pegang sejak SMA kelas dua membuat saya jadi bagian dari enam sampai tujuh juta penduduk Jakarta sah secara hukum.

Besok, bila dihitung dari tanggal di atas selembar yang biasa disebut sebagai akte kelahiran maka usia saya akan genap 29 tahun. Tepatnya jam dua esok dini hari, tak kurang dari enam jam dari saat saya membuat tulisan ini.

Tidak ada yang luar biasa, seingat saya belum pernah selama 28 tahun belakangan ini saya merayakan ulang tahun seperti layaknya pesta ulang tahun. Paling banter dulu waktu ibu saya masih hidup, beberapa kali kami sekeluarga berkumpul dan berdoa bersama. Tidak ada yang istimewa memang, karena itu, sore tadi dalam rangka menghadapi hari kelahiran saya besok saya ingin mengingat-ingat beberapa kejadian terbesar dalam hidup saya yang pernah terjadi.

Sesuatu yang hampir-hampir saya sesalkan !!!

Yah, saya menyesal mengapa saya berminat sekali untuk mengingat kejadian besar yang pernah terjadi. Karena ternyata minim sekali yang bisa diingat, hanya beberapa saja itupun tidak begitu berati untuk anda bila saya tuangkan dalam tulisan ini. Tapi toh kali ini saya hanya berminat menulis untuk diri sendiri.

Tahu tidak apa yang muncul pertama dari balik semak belukar memori saya? Ciuman ibu!!

Sampai saya membuat pernyataan, sekitar kelas empat atau lima SD, tidak boleh dicium baik di pipi ataupun bagian manapun dari tubuh ini oleh ibu. Karena membuat saya malu pada teman-teman dengan kebiasaan ibu yang kerap mencium saya di depan mereka. Memang sih cukup berhasil, walau beberapa kali saya terpaksa menerima serangan tiba-tiba ciuman ibu, yang pasti dilanjutkan dengan reaksi saya menyeka pipi.

Seingat saya ciuman terakhir yang rela saya terima hanya ketika, manusia bodoh ini, lolos UMPTN walau hanya diterima di Fakultas Sastra, Jurusan Ilmu Perpustakaan lagi. Sepertinya untuk siswa unggulan dengerpun belum pernah tuh jurusan.

Saya tersentak, ternyata walau ibu sudah mendahuli kami sejak saya duduk di semester satu namun dia dan ciumannya selalu hadir dalam setiap momen terbesar hidup saya. Ketika wisuda saya merasa ibu ada di balairung, lalu tersenyum bangga melihat anaknya berseragam toga sambil diringi mars Goedeomus Ijitur (yang tentunya saya tidak tahu bagaimana menulisnya dengan benar judul mars itu). Pastinya sebuah ciuman haru menanti saya disana.

Saat saya mulai bekerja, bagaimana ketika saya persembahkan amplog gaji pertama saya sebagai rasa terimakasih yang belum tentu bisa saya balas...walau hanya untuk membayar sebuah ciuman di pipi.

Ketika akhirnya saya menikah, sosok ibu sepertinya ada di situ sambil duduk di sebelah bapak menanti saya untuk duduk bersimpuh memohon doa restu yang tentunya akan dibalas dengan sebuah ciuman atau mungkin dua buah ciuman di pipi sebagai ungkapan rasa cintanya pada anaknya yang akhirnya menyempurnakan setangah dien.

Maghrib tadi, tiba-tiba terasa rindu ini dalam sebuah sujud, akan sebuah cium hangat di pipi. Tak terasa air mata menetes mengingat raut wajah ibu.

Dalam sebuah kamar ICU ibu terbaring di sana. Selang-selang infus bergelayutan mensuplai kebutuhan hidup. Sebuah kenyataan yang sebenarnya ibu tidak pernah setujui. Detik terakhir terkungkung di antara mesin-mesih penunjang hidup. Tapi manusia mana yang tega membiarkan keadaan itu tanpa ada usaha?

Akhirnya memang manusia akan menyerah pada takdir bukan? Pertanyaannya adalah sesiap apakah ketika saat itu tiba. Walau ibu sudah mulai keluar masuk rumah sakit sejak saya SMP namun tidak pernah sekalipun saya siap akan menghadapi kematian ibu. Walau saya memang tidak pernah menampakkan kesedihan yang berlebihan di depan kakak dan bapak namun hati ini sama dengan remuk redamnya mereka.

****************************************************
Baru saja saya menengok sebentar ke kamar, melihat isteri saya tertidur pulas. Mungkin terlalu capai ngurusi suaminya ini sampai-sampai dia kelelahan dan tertidur seperti itu.

Pelan-pelan bayang ibu terasa disamping lalu beranjak duduk dan mendekat ke hati saya dan berbisik kamu sudah temukan ganti ciuman yang hilang itu bukan....dan isteri saya seperti tersenyum dalam tidurnya seakan mengucapkan salam pada ibu.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home