Eanáir 19, 2005

Bahasa Indonesia
memanusiakan manusia



Bahasa Indonesia, antara ada dan tiada. Digunakan hampir lebih dari 200 juta orang penduduknya digembar-gemborkan sebagai bahasa pemersatu. Namun di sisi lain menjadi momok dengan kelemahannya di sana sini. Apakah anda lebih suka menggunakan kata saya,aku (walau dalam pergaulan sehari-hari) atau gue dan elu? Apakah anda suka menambahkan "gitu lo" dalam setiap pernyataan anda, atau beberapa saat lalu pernah juga dengan "Ya sieh", "Ni yee" dan "lageee"?

Perkembangan Bahasa Indonesia yang berakar dari Bahasa Melayu saat ini telah menjadi sebuah lingua franca. produk budaya, dan sekaligus sarana komunikasi yang efektif untuk segala bidang...paling tidak begitu menurut teorinya.

Saya suka sekali bagaimana Taufik Ismail si Penyair religius (eh maksud saya relijius) yang juga guru besar Fakultas Satra UI menggambarkan bagaimana penggunaan bahasa yang asal-asalan mencederai bahasa itu sendiri : "kalau dibiarkan maka penggunaan bahasa itu makin lama makin menjadi lecek. Maknanya menjadi berkurang, karena penuh dengan basa-basi, dengan klise, dengan pengulangan-pengulangan"

Bicara soal basa-basi saya juga berfikir bahwa sepertinya orang Indoensia sudah sangat keterlaluan menggunakannya. Seperti waktu saya mengantarkan isteri melihat hasil pengumuman CPNS di Depkes, Bertemu dengan kawan lama. Spontan saya tanya "Ngapain?" jawabnya, dengan basa-basi tentunya, "maen aja!".

Lalu isteri saya sambil melirik sosok wanita yang sepertinya "calon" teman saya itu "Maen kok niat amat sampe ke Depkes segala". Basa-basi ok lah, bahkan basa-basi berguna sekali untuk tidak menyinggung perasaan orang. Namun ketika berbasa-basi mohon lihat situasi dan kondisi , bukan begitu bukan?

Tapi tidak begitu adanya dengan Bimbim SLANK, satu-satunya pendiri grup musik kesohor itu yang masih tersisa. Dengan kurang lebih 50000 penggemarnya (Slankers) tersebar di Indonesia, Slank merupakan sebuah fenomoena tersendiri. Menurutnya Bahasa hanya sebatas alat komunikasi saja. "Lu ngerti gue ngerti, kan begitu".

Bahasa apapun seharusnya tidak perlu dicurgai dan orang-orang tidak perlu dikekang untuk menggunakannya. Sebaliknya, katanya, biarkan saja berkembanga, sebab hukum alam akan berlaku untuknya. "Biarkan saja bahasa Indonesia berkembang jangan terpaku pada tanda. Zaman berubah. Kalau ada kata-kata baru, tak apa kita pakai. Jangan menutup diri pada kata atau bahasa baru. Bahasa slengean pun masukkan saja ke kamus agar kosakatanya lebih kaya. Lima atau sepuluh tahun ke depan bisa berubah lagi. Mungkin sudah tak terpakai. Tak apa." begitu lanjut Bimbim.

Bagaimana kita memandang sebuah bahasa rasa-rasanya kembali ke diri kita masing-masing, saya bukannya mau lepas tangan apalagi dituduh tidak berfihak. Saya pribadi setuju dengan Taufik Ismail bahwa bahasa harus dijaga, "berkembang dalam jalur yang benar" begitu mungkin ungkapan yang tepat. Namun saya tidak bilang bahwa Bimbim salah, saya juga setuju dengan dia apalagi bagian "...Jangan terpaku pada tanda..."

Well, setuju atau tidak akhirnya kita sampai pada sebuah titik bahwa bahasa menunjukkan kepribadian manusia yang memiliki bahasa itu. Hanya satu hal yang saya takutkan bahwa bahasa Indonesia akan berakhir seperti bahasa yang tersebar di wilayah Sumatra, Sulawesi, Kalimantan, Maluku, dan Papua, kenapa? Karena bahasa di daerah-daerah tersebut berpotensi terancam punah,

Sumber :
Bahasa Dunia Punah 1 Abad Lagi?
Jagat Bahasa Nasional : pandangan tokoh tentang bahasa Indonesia (pusat Bahasa)
corbis

0 Comments:

Post a Comment

<< Home