Márta 23, 2004

...aku ingin itu



Sejak kelas 1 SD Dia telah belajar tentang pegangan hidupnya, yaitu Islam, tentang apa itu solat apa itu zakat, apa itu azan apa itu puasa apa itu sedekah dan apa itu Allah SWT. Tidak cukup sampai di situ, orang tuanya sejak kelas 3 atau 4 SD memanggil guru ngaji untuk mengajarinya bahasa surga, bahasa Al-Qur'an. Bersamaan dengan itu juga Dia disekolahkan di madrasah di dekat rumahnya sepulang sekolah. Lanjut ketika SMP dan SMA dan akhirnya semester awal ketika kuliah Dia total telah mempelajari agamanya kurang lebih dua belas setengah tahun secara formil.

Apa yang didapat dari dua belas tahun penempaan seharusnya menjadi modal bagi Dia untuk memandang hidup ini dari sisi keimanan yang benar. Memandang dari mata Ilahiah, pada setiap aspek kehidupannya.

Tapi apa yang salah? kenapa kok dia yang sekarang tidak sepadan dengan apa yang seharusnya. Dia ini kok ya nggak beda dengan (ibaratnya) anak kecil yang baru belajar agama, minim pemahaman dan minim pelaksaannya. Dia lebih cenderung berat sebelah apabila datang sebuah masalah, berat pada petimbangan duniawi.

Dulu, ketika SD dia teringat guru agama pernah bercerita tentang Allah, yaitu Allah melihat dan Allah Sang Pencipta. Dia berfikir dan memandang ke langit-langit rumahnya dan berkata dalam hati, apakah mungkin Allah melihat dia apabila di halang-halangi eternit yang begitu tebal, bila di luar rumah mungkin bisa, tapi....?? Oooh mungkin Allah melihat Dia dari atas lalu melawati lapisan-lapisan awan, sela-sela daun, celah celah jendela dan akhirnya Dia menemukan Dia di dalam rumah. Allah maha pencipta, dia yang penurut tentunya percaya dengan omongan guru agamanya, jadi ketika si Mirna, teman mainnya ketika itu mengatakan yang membuat meja adalah tukang kayu, dan yang membangun rumah adalah tukang bangunan...Dia lalu protes keras. Tapi kemudai terbukti memang yang membuat meja adalah tukang kayu dan yang membuat rumah adalah tukang bangunan....tapi tentu dalam dimensi "atas izin Allah SWT".

Pada saat yang hampir bersamaan dia pernah membaca (sepertinya majalah bobo) tentang sebuah satelit yang mampu mengeker dari luar angkasa benda sekecil lima centimeter dengan jelas. Lalu dia dengan naifnya menggambar banyak sekali pesawat terbang, tank-tank dan mobil dengan harapan satelit tersebut mampir di atas Indonesia dan melihat gambar-gambar dia tersebut, lalu membuat versi aslinya. Saat itu dia berfikir mungkin sama cara Allah dengan cara satelit tersebut melihat dia di bawah ?

Kebodohan-kebodohan yang lama tidak terjawab tentang hal-hal tersebut lama-lama mungkin membuat ke imanan dia semakin tergerus akan Allah SWT, ya mungkin dia mengahafal ayat kursi, mungkin juga dia lancar mengikuti bacaan-bacaan dan gerakan shalat tapi dia (waktu itu) tidak begitu faham siapa yang dia sujud dan sembah.

Indonesia memang dikenal dengan pendidikan agama yang bercirikan fikih melulu. Padahal seharusnya apa yang harus ditanamkan lebih dahulu adalah tauhid, setelah itu barulah masalah fikih. Entah mengapa, mungkin penguasa negara ketika itu begitu takutnya dengan Islam sehingga mereka menjaga sebisa mungkin bagaimana caranya agar generasi yang tumbuh setelah mereka adalah generasi yang direpotkan dengan 'qunut atau tidak pakai qunut" daripada mengenal siapa Tuhannya.

Bagaimana tidak? Coba saja, arti kalimat tauhid bagi seorang Islam 'tiada tuhan selain Allah' sungguh terjemahan yang lucu dari la ilah ha ilallah. Tuhan dengan 't' kecil di antara kami karena terjemahan yang sempit tersebut, akhirnya juga menghasilkan pemahaman yang juga sempit, padahal kalimat tersebut memiliki arti yang lebih luas dan luar biasa. Kalimat yang memerdekakan sekaligus mengikat. Bahwa seorang manusia tidak takut, tidak cinta, tidak menyembah tidak mengakui hukum selain hukum Allah dan tidak mengakui ada dzat yang lebih tinggi daripada Allah.

Bahaya? Oh ya tentu apabila pengelola negara tidak memakai hukum Allah SWT, alih alih menciptakan alternatif yang katanya hukum Islam telah terkandung di dalamnya, yaitu pancasila dan butir-butirnya....alternatif yang bahkan tidak bertahan seabad. Coba saja bikin survey berapa orang dari dua ratus juta masyarakat Indonesia yang masih hapal lima sila Pancasila...apalagi ditambah butir2nya.

Harga yang harus dibayar bangsa ini sangat mahal, akibat pendidikan agama yang berpihak pada dunia. Efeknya bahkan masih terasa sampai sekarang, sepertinya tidak akan hilang sampai generasi yang dihasilkan oleh orde lalu habis dimakan usia. Tanya saja Bang Napi yang di RCTI berapa banyak nyawa hilang hanya karena senggolan di jalan, cekcok mulut. Bagaima korupsi merajalela, kezoliman dan kebodohan yang membanjiri Indonesia.....Haah padahal bila dahulu kami diberi pemahaman tentang Allah SWT saat ini tentunya kami akan takut untuk menilep uang negara, membakar copet dan menyikut sana sini, karena toh kami tahu Allah ada di sini, melihat semuanya.

Wallahu'alam bi shawab.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home