Feabhra 17, 2004

Pustakawan di Soekarno-Hatta...senja 2025

"Silahkan letakkan tas anda pada scanner satu!" secercah sinar berwarna kuning ke biru-biruan memindai tas-tas yang saya bawa sejak empat jam lalu.

Sorotan mata pria berseragam hitam hitam tampak semakin tajam saja berkelana dari ujung kaki sampai ujung rambut, seperti di dalam retinanya ada sebuah scanner yang dapat melihat dibalik baju tebalku.

"Mohon maju dua langkah Pak!" sebenarnya kalimat itu bukan sebuah permohonan hanya basa basi saja agar terdengar lebih sopan, lebih mirip sebuah perintah atasan kepada bawahanya. Saya dalam posisi sekarang memang lebih mirip bawahan atau tertuduh bahkan.

"Oh iya iya Mas" jawab saya mencoba lebih ramah mudah-mudahan saja Pria berseragam hitam itu akan sedikit ramah.

"Agak geser sedikti Pak, kepala bapak tidak pas dengan scanner dua!" ternyata missi ramah tamah saya gagal Pria itu masih saja tampak lebih komandan daripada tadi.

Scanner dua saat ini menjadi barang wajib di bandara-bandara internasional bukan termasuk juga pintu masuk ke Indonesia baik itu laut maupun darat, bahkan katanya sudah lebih dari 30 negara menggunakannya. Scanner dua bertiugas memindai apa yang ada di kepala anda...hanya itu saja yang saya tahu sampai detik ini.

Geli-geli hangat barangkali perasaan yang tepat untuk menggambarkan rasa di kepala saya ketika cahaya pemindai scanner dua mulai bekerja. Hampir-hampir saja saya tertawa cekikikan ketika Pria berseragam hitam dan beberapa temannya yang juga berseragam hitam mendiskusikan sesuatu di depan monitor output hasil scanning isi kepala saya. Sambil sekali-kali melirik curiga mereka berbisik-bisik, tampaknya gelagat nggak enak nih begitu gumam saya. Pria yang berlagak seperti komandan menghampiri saya dan mempersilahkan saya mengikutinya, di belakang saya ada dua pria berseragam hitam lagi mengawal.

"Ada apa ini?" agak ragu-ragu saya bertanya sambil berjalan tertatih-tatih mengikut langkah sigap mereka. Tapi yang ditanya hanya diam saja sampai akhirnya kami tiba di ruang dengan tanda "RUANG SOLUSI SATU" didepannya

Pria berbau hitam menyilahkan saya duduk. Di dalam ruang itu hanya ada satu kursi dan satu meja berbentuk segi empat. Tampak sekali bahwa desain ruang ini dikhususkan untuk menekan siapapun juga yang berada dalam posisi seperti saya saat ini.

+ "Bina Iman Widiyanto, lahir di Jakarta enam belas februari, wah tanggal lahir kita cuma terpaut dua hari, pekerjaan anda apa Pak Iman?" basa basi dan senyum yang dipaksa terasa sekali dalam ruangan ini.

++ "Loh kenapa pak? kenapa dengan profesi saya?"

+ "Apa yang saya tanya mohon jangan dijawab dengan pertanyaan, mohon lansung jawab !"

++ "emm...Pustakawan"
Dahulu saya sering menjawab profesi saya dengan perasaan malu-malu dan itu hal yang wajar, tetapai baru kai ini saya harus merasakan agak sedikit takut, takut apakah saya salah menjadi pustakawan? atau takut karena ada sesautu di dalam kepala saya yang mereka tidak suka

+"Tahu kenapa anda di bawa ke ruang solusi ini?"

++"emm....rasanya saya tidak tahu"

+"karena kami melihat isi kepala anda sangat berbahaya!!"

++"berbahaya apa?...maksud bapak apa? saya tidak ada maksud apa apa, saya hanya ingin kembali ke Indonesia dan menerapkan ilmu perpustakaan saya kok!!"

+"Naaah itu lah...!!!"

++"Naah itu lah apa Pak?....kok saya nggak ngerti ya?...mohon lebih jelas Pak!"
Agak emosi juga sih mendengar pernyataan pria berseragam di depan saya berbelit-belit

+"begini...tadi ketika proses scanner dua...tau khan itu scanner yang akan melihat isi kepala anda, monitor output kami menunjukkan bahwa isi kepala anda melebihi kuota"

++"Ha apa? kuota?"
Semakin bingung saja saya dibuatnya.

+"Kuota yang kami maksud adalah kapasitas isi kepala anda melebihi dari yang diperbolehkan negeri ini" meleha nafas "paling tidak menurut catatan kami isi kepala anda sekitar 25% melebihi kuota radikal bebas dan itu adalah pelanggaran serius"

++"loh pak memangnya saya bawa besi baja kok isinya melebihi kuota gitu?"

+"Memangnya di luar negeri sudah berapa tahun sih?"

++"dua Pak...dua tahun"

+"ooh...jadi begini, sejak setahun lalu pemerintah mengerluarkan UU baru untuk menjaga kestabilan negara, ...UU Preventif Dini namanya"

++"UU Preventif Dini hubungannya dengan isi kepala?"

+"Sebentar saya belum selesai!" melotot "Kuota yang diperbolehkan dalam kepala orang Indonesia adalah 49% radikal bebas dan sisanya dikontrol oleh pemerintah!"

+"49% itu termasuk memori pribadi dan pendidikan formal atau informal" sambungnya.

++"Hah jadi maksud bapak,..sayaa??!!!"

+"Yak! benar sekali ...karena anda terlanjur ambil master di luar negeri, terlalu banyak baca buku dan baca berita di koran serta nonton CNN atau Al Jazeera maka besar kemungkinan otak anda terlalu banyak isi"

++"maksud bapak saya kepintaran gitu?" tersipu-sipu

+"Betul, dan menjadi orang pintar berati melanggar pasal 12 dari UU Preventif DIni! hukumannya seratus tahun diasingkan tanpa melewati pengadilan atau menjalani Tindakan Prventif"

Hilang sudah tersipu sipu saya diganti dengan ketakutan.

+"Kami mempelajari sejarah dan kami sadar Sejak kejadian AT Gate pada Februari 2004, pemerintah sadar ternyata bangsa ini tidak membutuhkan orang2 pintar namun orang-orang yang 'cerdik'"

++ "AT Gate?...maksud bapak yang berhubungan dengan sesepuh pejabat kita itu?" pikiran saya melayang pada sesosok wajah yang sesaat sebelum saya berangkat ke LN banyak sekali poster-poster dengan tampangnya serta tulisan "PILIHAN ANDA SEKALI LAGI" dibawahnya ditempel di mana-mana.

+"ya! anda benar sekali"

++"Soal dua pilihan tadi, emmm..apakah saya boleh memilih?" tiba-tiba suara wibawa yang sering didengar anak dan istriku lenyap digantikan suara gemetar.

+"Oh pasti! pemerintah Indonesia tidak sejahat itu kami memberikan pilihan bagi orang-orang seperti anda"

++"Tapi sebelumnya tolong jelaskan maksud "TIndakan Preventif" itu"

+"TIdak perlu penjelasan "diasingkan" ?"

++"Oh tidak tidak tidak saya rasa saya sudah tahu apa yang dimaksud dengan diasingkan"

+"Baik, Tindakan Preventif adalah salah satu cara pemerintah untuk mengosongkan kelebihan kuota di kepala anda"

++"Operasi?"

+"Tidak! kami memiliki alat yang lebih prakis dan tidak menyakitkan, setelah anda menjalaninya maka kapasitas kepala anda akan memenuhi kuato pemerintah untuk radikal bebas"

++"Apa saja yang akan dihilangkan?"

+"Kalau berdasarakan UU Preventif Dini mungkin ya paling tidak pendidikan formal atau nonformal anda selama lima tahun kebelakang akan hilang. Kami berbaik hati untuk tidak menghilangkan memori pribadi anda, tapi ya itulah...emm...uang rokoknya jangan lupa.."

++"berapa?"

+"Yah limapuluh juta sajalah Pak"

++"Waduh saya mana ada uang segitu banyak, sepuluh juta aja ya?" sambil merogoh kantung

+"Gak bisa Pak, tigapuluh juta untuk kenangan pribadi kami rasa bukan harga yang mahal bukan?"

++"Pak saya bukan orang kaya, hanya pustakawan yang kebetulan dapat beasiswa, masak sih bapak tega?"

+"Ya gimana lagi dong?"
diam

++"Ya gimana dong"
balik tanya, lalu diam

++"Bagaimana kalau saya tidak memilih dua pilihan tadi?" apa yang akan Pemerintah Lakukan ?"
Nada menantang pertama saya sejak pertemuan kami beberapa jam yang lalu di bandara.

+"Pemerintah Indonesia menyediakan loket 12 untuk anda!"

++"loket apa itu?"

+"Loket pencabutan hak-hak anda sebagai WNI dan pengalihan harta benda anda di Indonesia ke pada pemerintah"

semua diam

+"Well?"

++"sepuluh juta pak?" perlawanan terakhir saya

+"Maaf pilihan anda hanya diasingkan atau pergi dari Indonesia sekarang juga"

Sore itu tahun 2025 sebuah pesawat orang terbuang membawa penumpang ke negeri entah berantah melewati bayang-bayang senja Cengkareng yang mulai mengabur.

**Buat bu beranda**
yang semangat ya bu!!!!

1 Comments:

Blogger Subhan said...

Halo Mas Abhi, salam kenal.

Saya Subhan, Pustakawan pada sebuah NGO di Jogja.

5:15 i.n.  

Post a Comment

<< Home