Perpustakaan : ruang yang kesepian
Koran Tempo
Kata sastrawan Sapardi Djoko Damono, masyarakat yang modern meletakkan perpustakaan di tempat yang penting. Sementara, ruang-ruang perpustakaan kita jarang dijamah.
Lengang dan sepi. Begitulah kesan pertama ketika memasuki gedung Perpustakaan Yayasan Hatta di Jl. Laksda Adi Sucipto, Yogyakarta - sebuah lokasi yang strategis dan mudah dijangkau dari banyak arah. Bangku-bangku dan meja-meja di lantai dua gedung tua itu, yang jumlahnya puluhan, seakan rindu menanti kehangatan pengunjungnya. Satu dua tamu memang datang, selebihnya sunyi.
Rak-rak kayu yang berjajar di ruang utama, yang menampung koleksi sekitar 33 ribu judul, nyaris tak terjamah pengunjung. Deretan buku-bukunya tampak kusam dan berdebu. Beberapa di antaranya bahkan terlihat mulai lapuk lantaran usia atau karena perawatan yang kurang memadai.
Siang itu, di ruang baca yang begitu lapang, hanya ada empat orang pengunjung. Petugas yang berjaga melayani peminjaman buku praktis menganggur. Mengobrol atau membaca koran dan majalah adalah cara terbaik mengisi waktu luang dan mengusir kebosanan. "Kalau pas musim ujian pengunjung bisa mencapai 50 orang per hari. Di luar itu paling hanya lima sampai tujuh orang," ujar seorang petugas.
Lima hingga tujuh pengunjung sehari. Entah apa yang dikatakan Bung Hatta andai ia masih hidup. Nama besarnya, yang dipakai perpustakaan ini, ternyata tak sanggup menarik masyarakat untuk berduyun-duyun mengunjungi ruang-ruang baca yang menyimpan puluhan ribu koleksi itu.
Demikianlah yang terjadi. Dari tahun ke tahun jumlah pengunjung bahkan terus merosot. Pengelola perpustakaan masih mencatat angka kunjungan lumayan tinggi pada 1998, yakni 9.567 orang. Namun, hanya dalam tiga tahun jumlah itu terpangkas lebih dari separonya, tinggal 4.089. "Selain disebabkan koleksi buku tak pernah bertambah, juga karena banyak perpustakaan kampus yang lebih lengkap," kata Fauzie Ridjal, Wakil Sekretaris Yayasan yang juga Kepala Perpustakaan Yayasan Hatta, mencoba menjelaskan alasannya.
Sebagian pengunjung yang masih setia adalah mahasiswa S2 dan S3 - jumlahnya 75 persen dari keseluruhan pengunjung. Mereka bertahan lantaran koleksi buku-buku tua yang lumayan lengkap, khususnya untuk tema-tema sejarah, kebudayaan, dan filsafat. Suasana tak kalah sunyi terasa di Perpustakaan Idayu, yang terletak di Jl. Kwitang Jakarta, yang menyediakan beberapa buah meja dan kursi baca. Satu dua pengunjung terlihat datang pada pagi dan siang hari,dan agak ramai ketika sore tiba.
Meski sama-sama merosot, jumlah pengunjung Perpustakaan Idayu masih mendingan daripada Perpustakaan Hatta di Yogya, rata-rata 30 orang per hari. "Tapi, dibandingkan dulu jauh sekali. Dulu sampai 400 orang per hari," tutur Nur Enim Soebadri, Ketua Badan Pelaksana Idayu. Saat menempati Gedung Kebangkitan Nasional di Jl. Abdul Rahman Saleh, Jakarta Pusat, pada 1972-1992, jumlah pengunjung perpustakaan yang dibangun Masagung ini rata-rata 300-400 orang per hari. Koleksinya yang beragam dan mencapai 18.500 judul dengan jumlah 49.800 eksemplar tak cukup menjadi daya tarik masyarakat untuk mendatangi perpustakaan yang didirikan pada 1966 ini. Meski ruangannya cukup nyaman, namun barangkali suasananya tak lagi seperti ketika menempati Gedung Kebangkitan Nasional. Waktu itu, menurut Nur Enim, kerindangan pohon di halaman gedung itu membuat orang betah berlama-lama di perpustakaan. "Lagi pula kini setiap kampus mempunyai perpustakaan," kata Nur. Mahasiswa menjadi pengunjung terbanyak perpustakaan ini di masa lalu, dan kunjungan ini berkurang seiring berpindahnya kampus-kampus ke wilayah pinggiran Jakarta.
Naik turunnya pengunjung dirasakan pula oleh perpustakaan publik yang dikelola negara, seperti Perpustakaan Nasional di Jakarta. Dady Rachmananta, Kepala Perpustakaan Nasional, menyebut angka 300-400 orang setiap hari mendatangi perpustakaan yang terletak di Jl. Salemba itu. Jumlah kunjungan yang sama dengan Perpustakaan Nasional dicatat pula oleh Perpustakaan Daerah Jatim di Surabaya. Namun angka yang jauh lebih kecil, hanya sekitar 100 pengunjung per hari dicapai oleh Perpustakaan Daerah Jawa Barat di Bandung.
"Jumlah pengunjung itu tergantung musim. Kalau pas musim ujian, pengunjungnya banyak," ujar Dady. Perpustakaan induk yang sebenarnya lebih diarahkan untuk membentuk penelitian dan penulisan ilmiah ini memang lebih banyak dikunjungi peneliti dan mahasiswa, di samping anak-anak sekolah.
Jumlah pengunjung sebanyak itu memang cukup membuat ruang baca Perpustakaan Nasional terkesan ramai. Sekali waktu sekitar 30 orang tampak asyik membaca di meja-meja yang disediakan, yang lain sibuk membuka-buka katalog yang sebagian besar masih manual. "Baru sekitar 100 ribu judul yang masuk komputer," kata Dady. Pengunjung yang ingin memanfaatkan komputer mesti mengantri, lantaran hanya tersedia dua unit penyimpan katalog. Kendati terkesan ramai, jumlah pengunjung masih terbilang kecil mengingat perpustakaan induk ini terdiri atas tujuh lantai dengan koleksi yang mencapai kira-kira 1,3 juta eksemplar. Tercatat, jumlah pengunjung tahun lalu mencapai 129.535, lumayan meningkat dibanding tahun sebelumnya, 104.450 [lihat Grafis Data ]. Suasana sunyi mulai terasa bila mengunjungi lantai yang lebih atas, tempat menyimpan koleksi yang lebih penting dan langka.
Koleksi manuskripnya yang sangat berharga dan cukup banyak, 10 ribu, yang terletak di lantai 5 jarang dikunjungi. Hanya sekitar 5 orang rata-rata sehari menyambangi ruang simpan manuskrip yang ditata rapi. Dady mengeluhkan rendahnya apresiasi masyarakat terhadap perpustakaan. "Mereka datang kalau lagi perlu. Sebagai contoh, seorang mahasiswa yang tengah menyelesaikan skripsi S1-nya. Setelah skripsi selesai, ya nggak datang lagi ke perpustakaan," ujarnya. "Jadi, ia datang bukan karena keingintahuan." Bila itu soalnya, apa yang bisa dilakukan?
Perpustakaan Nasional, misalnya, mengadakan acara seperti penobatan pengunjung teladan untuk mereka yang paling sering memanfaatkan koleksi perpustakaan. "Kita juga menyelenggarakan acara bedah buku, story telling, lalu pameran keliling," ujar Dady. Hasilnya memang tak bisa diukur langsung. Apalagi bila tak ada langkah yang lebih jitu. Pengelola Perpustakaan Idayu, misalnya, menyebarkan brosur untuk menarik pengunjung. Hanya itu? "Ya, hanya itu yang bisa kita lakukan," kata Nur Enim.
Apa boleh buat, dengan ikhtiar yang alakadarnya barangkali minat masyarakat untuk mengunjungi perpustakaan akan tetap sulit didongkrak hingga waktu yang lama. Apa yang dibayangkan Sapardi Djoko Damono barangkali masih jauh. Guru besar Fakultas Sastra Universitas Indonesia itu, dalam pidatonya pada acara Mengenang Setahun Wafatnya H.B.Jassin di Jakarta, 30 Mei 2001, mengatakan, "Perpustakaan dan pusat dokumentasi merupakan kebutuhan utama bagi masyarakat modern, tempat kita semua bisa mendapatkan gambaran (tentang) perkembangan pemikiran masyarakat." Perpustakaan sudah berdiri, berpuluh tahun, tapi ia seperti makhluk kesepian
0 Comments:
Post a Comment
<< Home