Meitheamh 15, 2007

Rindu




Disini saya berdiri setelah seabad rasanya tidak pernah menjenguk sudut jalan yang membelah kota kecil kami. Jalan yang tidak ada istimewanya bagi kebanyakan orang namun untuk sebagian lain meninggalkan lubang-lubang kenangan dalam hati dan benak mereka bahkan setelah bertahun-tahun meninggalkan jauh tempat ini. Tidak begitu panjang memang, karena apalah jalan panjang dalam kota kami yang kecil. Kecil dan tidak populer, terletak beberapa puluh kilometer dari Jalan Propinsi, membuat para pengunjung harus menyambung beberapa kali kendaraan umum sampai akhirnya tiba pada depan gerbang kota.

Begitulah, jalan ini menyambut siapa saja yang baru tiba, baik anak-anak mereka yang telah berpuluh tahun pergi, entah angin apa yang membawanya kembali ke sini, atau mereka orang asing yang mungkin saja secara kebetulan karena tersesat. Siapapun mereka jalan ini tidak akan pernah mengeluh, semua disambut dengan tulus, setulus penulis yang menorehkan tinta pada kertas-kertas putih polos.

Dan, di sinilah saya berdiri tepat pada ujung jalan tempat semua lintasan sejarah saya terukir dahulu. Bersender pada gapura kota yang sudah mulai pudar warnanya disana-sini. Dahulu, setiap tahun tepatnya awal bulan Agustus selalu saja gapura ini dipoles dengan nuansa merah dan putih, tapi sekarang semuanya tampak tak bersemangat bahkan beberapa rumah yang dulu begitu besar dan megah sepanjang jalan ini tampak mulai tak terurus. Walau begitu tak banyak perubahan yang terjadi di sini, tidak seperti Jakarta, tanpa sadar dengan dinginnya meninggalkan siapa saja yang tidak mampu mengikuti rotasi roda-roda bajanya, kota kami dengan jalan yang membelahnya selalu menunggu. Yah...menunggu siapa saja yang ingin ditunggu bahkan Mbah Kung yang telah melewati tiga masapun tidak akan lupa detil setiap sudut anatomi kota ini.

Jalan ini adalah tentang kenangan, sekaligus tentang hari ini dan tentang besok. Setiap pohon yang tumbuh di kiri-kanannya sama dengan pohon yang aku lihat dahulu, rindangnya berbagi teduh untuk para pemakai jalan. Pohon yang mungkin masih akan sama berdiri lima sampai sepuluh tahun nanti. Bila melihat jalan ini, entah karena pengaruh kota besar, saya seperti mendengar alunan saxopone mendayu dari antara rerantingan pohon-pohon besar sepanjang jalan. Padahal di kota saya seruling adalah satu-satunya alat tradisional tiupnya, itu bila tidak memasukkan daun dan serpihan kayu yang dulu kami jadikan sebagai mainan dengan bunyinya yang kadang membuat orang dewasa kesal. Ya, pertama-tama saya seperti mendengar alunan saxophone untuk beberapa saat lalu disusul petikan bas dan akhirnya sebuah band lengkap mengiringi langkah-langkah kecil ini.

Hari masih pagi belum lagi jam 6 Ketika saya tiba, cahaya matahari masih malu-malu mengintip dari ujung sana. Aroma tanah yang saya rindu selama ini begitu kental terhirup membawa saya pada seratus persen yakin bahwa saya sudah di rumah. Jalan ini memberikan semua yang saya rindukan....benar-benar rindukan. Saya ikuti jalan yang sedikit berkelok, kata Bapak dulu ketika akan merantau "Bila kamu lupa jalan menuju rumahmu ikuti saja jalan ini. Kamu pasti tidak akan tersesat karena Bapak akan selalu ada di sini menunggu , tepat di depan rumahmu".

Lalu, saya memang mengikuti jalan ini terus saja melewati seribu satu tawa, tangis serta sapaan kerabat, sahabat dan bekas sahabat yang tampaknya setelah bertahun-tahun berpisah menjadikan waktu sebagai perekat ajaib. Membuat sahabat yang telah jauh, bahkan saya telah lupa kenapa dulu dia menjauhi saya, rebutan pacar mungkin. Ah, sudah lupakan saja, mendekap erat kembali tubuh saya bahkan lebih hangat dari sebelumnya.

 

Dari balik kelokan ini saya meihat sebuah rumah yang melekat dalam benak selama bertahun-tahun belakangan ini. Belum banyak berubah tidak berubah sama sekali bahkan, masih ada beberapa tanaman buah tempat dulu saya seharian bermain. Bangku kesayangan bapak juga masih terletak di sana, dulu Bapak bisa semalaman duduk di sana ngobrol bersama paman dan teman-temanya yang tinggal tak jauh dari sini. Tapi bapak tidak pernah merokok berbeda dengan teman-temannya yang seperti tidak ada habisnya mengebulkan asap seakan berebutan dengan kata-kata keluar dari mulut mereka.

Sampai sudah saya di sini depan rumah, seperti sangkar burung yang merindukan sang merpati kembali setelah berkelana dari kejauhan sana menghantarkan surat, rumah kami bila hari belum malam pintunya akan selalu dibiarkan terbuka lebar, membuat penghuninya tidak kesulitan memasuki rumah.

 

Tapi di mana bapak? janjinya dulu dia akan selalu di sini di depan rumah ini menunggu saya. Apakah bapak lupa? ataukah bapak sedang sare karena lelah menunggu kedatangan anakanya yang tidak pernah mengirim kabar ini? Saya lontarkan pandangan ke dalam rumah pada setiap sudut yang terlihat mencari sosok bapak berharap mungkin saja bapak sedang bersembunyi pada sebuah suduh rumah ini untuk mengejutkan saya. Nihil! tidak sesosok bayangpun tertangkap mata saya.

"Assalamu'alaikum, Bapak?" panggil saya

sunyi

"Pak?"

masih sunyi

Lalu saya duduk di kursi kesayangan bapak menghadap kebun depan rumah tempat beberapa tanaman buah tumbuh. Menyenderkan punggung yang telah lelah karena perjalanan jauh. Saya perhatikan setiap pohon dan tanaman yang tumbuh seperti tidak begitu terurus membuat saya heran karena Bapak tidak akan pernah membiarkan satu dahanpun melenceng dari jalurnya.

 

Sampai mata saya tertuju pada sebongkah batu. Ah, itu bukan batu tapi nisan...buat apa ada nisan disitu? benak saya terheran-heran sampai beberapa baris kalimat tertulis di atasnya mulai terbaca jelas :


Bila kamu lupa jalan menuju rumahmu
ikuti saja jalan ini.
Kamu pasti tidak akan tersesat karena Bapak akan selalu ada di sini menunggu,
tepat di depan rumahmu


(Bapak, 1950-2003)
-----------------------------------------------------------------
Hari ini saya rindu sekali pada bapak
Foto dari Corbis

0 Comments:

Post a Comment

<< Home