Rawe-Rawe Lantas Malang-Malang Putung-nya
Media Massa Cetak Berbahasa Daerah : Sebuah Tinjauan Sederhana
Berbeda kondisi dengan eforia kebebasan pers yang berimplikasi pada bermunculannya sejumlah media massa yang bak jamur di musim hujan, ada majalah yang harus berjuang keras bertahan agar tetap hidup. Itulah nasib sedih majalah berbahasa daerah. Contoh nyatanya, majalah berbahasa Jawa.
Demikian saya kuitp dari awal sebuah paragraf dalam sebuah tulisan yang mengulas tentang Majalah berbahasa daerah dalam hal ini tentunya bahasa Jawa. Media massa cetak berbahasa daerah adalah media seperti yang kita kenal saat ini yaitu koran dan majalah serta sejenisnya. Biasanya terbit dalam suatu daerah yang menggunakan bahasa daerah yang dimaksud. Namun untuk beberapa judul misalnya Damar Jati terbit di Jakarta yang mana penduduknya heterogen dan bahasa yang dominan adalah Bahasa Indonesia.
Media massa cetak berbahasa daerah memiliki ciri yang boleh dibilang istimewa. Misalnya, kebanyakan media massa cetak berbahasa daerah yang terbit di Pulau Jawa memiliki usia lebih lama dari umumnya media massa di Indonesia bahkan usia kemerdekaan Indonesia. Panjebar Semangat contohnya, majalah yang lahir dari tangan seorang tokoh perjuangan Arek Suroboyo dan terkenal dengan “rawe-rawe lantas malang-malang putung“-nya terbit pertama kali pada tahun 1933 itu berarti 12 tahun lebih tua dari proklamasi Indonesia. Sedangkan Jaya Baya majalah yang juga terbit di Jawa Timur se-usia dengan kemerdekaan kita. Selain Jaya Baya dan Panjebar Semangat masyarakat Jawa juga mengenal Djaka Lodang sebagai salah satu majalah berbahasa Jawa yang juga masih terbit sampai sekarang pertama kali muncul pada tahun 1971.
Memang selain berbahasa daerah di Indoensia dikenal beberapa terbitan media cetak yang menggunakan huruf non latin misalnya majalah Halo Indonesia yang menggunakan bahasa Arab, Shang Bao serta Harian Indonesia yang menggunakan aksara dan bahasa Mandarin serta yang paling unik adalah Cahaya Nusantara yang baru saja terbit tahun lalu menggunakan aksara Jawi. Namun menurut hemat saya koran dan majalah tersebut tidak termasuk dalam kelompok media massa berbahasa daerah.
Selain berbahasa Jawa di Pulau Jawa ini juga mengenal beberapa terbitan media massa yang menggunakan bahasa Sunda. Beberapa yang saya catat masih aktif terbit adalah majalah Mangle, Cupumanik serta Galura, hanya saja untuk yang terakhir itu berbentuk koran. Masih banyak lainnya misalnya Turus, sebuah buletin berbahasa Sunda yang diterbitkan oleh FBSUPI (Himpunan Mahasiswa Pendidikan Basa Jeung Sastra Sunda). Ditinjaiu dari segi usia untuk media cetak berbahasa Sunda tidak banyak yang memiliki sejarah seperti saudaranya yang berbahasa Jawa. Paling lama majalah Mangle yang masih terbit sampai sekaang telah berusia 50 tahun.
Kembali pada kutipan dalam paragraf awal tadi, walau memang tampaknya sekarang (masih) saatnya media massa Indonesia lepas dari belenggu SIUPP dan membanjirnya judul-judl baru serta muncul-nya segmen-segmen pembaca media massa yang sepertinya dulu tidak begitu bergairah. Tampaknya media massa cetak berbahasa daerah tidak ikut merasakan hal yang sama.
Tidak begitu banyaknya judul-judul media massa cetak baru adalah kenapa alasan saya menyebutkan seperti paragraf sebelumnya. Misalnya pada tahun 2001 oplah majalah berbahasa Jawa itu cuma sekitar 40.000 (dijumlah dari Panjebar Semangat, Jaya Baya, Djala Lodang dan, tahun itu, Mekar Sari). Bandingkan dengan oplah koran kompas misalnya yang disebut-sebut memiliki oplah terbesar di Indonesia di tahun 1999 saja telah memiliki oplah sekitar 600.000-an.
Walau begitu patut dicatat kenapa beberapa media massa berbahasa daerah malah memiliki usia yang cukup lama. Adalah pembaca setia sebabnya, ambil Panjebar Semangat saja bila diurut telah melewati dua generasi namun masih cukup mumpuni untuk tetap terbit. Begitu juga Mangle, Djaka Lodang, Jaya Baya dan lainnya walau tidak setua Panjebar namun juga memiliki pembaca setia.
Kenapa? cukup unik memang, mungkin beberapa orang akan menebak karena pembacanya tidak rela bila media massa cetak yang menggunakan bahasa ibu mereka hilang dari muka bumi. Cukup mengejutkan (atau tidak cukup mengejutkan) berdasarkan penelitian yang dilakukan dalam sebuah Thesis karya Rahani Itsia Kurniangingrum berjudul “MOTIF MEMBACA MAJALAH BERBAHASA JAWA: Studi deskriptif mengenai motif pembaca pelanggan majalah Panjebar Semangat di Surabaya” adalah : Jadi dalam membaca majalah Panjebar Semangat, rata-rata responden didasari oleh motif untuk mendapatkan hiburan, menghilangkan kebosanan dan melepaskan diri dari tekanan rutinitas sehari-hari. Paling tidak itu cukup mewakili walau hanya Panjebar Semangat yang menjadi objek penelitiannya.
Tidak ada yang anehkan? Bukankah kebanyakan orang membaca majalah adalah ingin seperti yang diutarakan di atas. Namun memang menurut saya ke-loyal-an pembacanya adalah sebab utama pembaca media massa cetak berbahasa daerah masalah bahasa yang digunakan adalah satu sebab kenapanya. Mungkin dengan membaca majalah berbahasa daearah akan membuat pembacanya yang berbahasa ibu sama merasa lebih dekat (akrab) dan nyaman.
Walau begitu perkembangan oplah yang kecil memang cukup mengkhwatirkan dan menjadi pertanyaan besar apakah media massa cetak berbahasa daerah akan dapat bertahan dalam masa-masa yang akan datang? Akankah suatu saat nanti seperti apa yang terjadi pada aksara Jawi yang pernah berjaya di Nusantara ini media massa cetak berbahasa daerah hanya berupa catatan sejarah? Anda saja yang bisa menjawabnya.
Sumber :
- AYAM KURUS ITU BERNAMA MAJALAH JAWA / W. Tjiptowardono, Intisari Januari 2001
- DILEMA MEDIA BERBAHASA SUNDA : Antara media hiburan dan News / Hamid Marta, Pikiran Rayat 25 Juli 2004
- Foto dari Corbis
0 Comments:
Post a Comment
<< Home