Nollaig 03, 2003

to be or not to be

Tulisan di bawah ini adalah efek samping se'mug' kopi pertama setelah sebulan tidak ngopi

Jujur saja menjadi pustakawan bukan pilihan pertama saya, ketika dulu UMPTN seperti kebanyakan remaja lainnya buta masa depan. Maklum saja mau ambil ini itu namun banyak sekali keterbatasannya. Saya dengan otak dan ekonomi yang pas-pasan tentunya tidak bisa sembarangan memilih, misalnya kedokteran atau ilmu komputer universitas negeri karena resiko tidak diterima akan lebih besar. Bilapun ingin mengambil kedokteran di perguruan tinggi swasta, mentok uangnya.

Kondisi yang demikian memaksa saya lebih selektif dalam memilih perguruan tinggi. Kakak saya yang telah lebih dahulu mengambil jurusan Ilmu Perpustakaan mengilhami ibu untuk mendorong saya mengikuti jejaknya, katanya agar lebih mudah mendapatkan pekerjaan. Terbukti memang saat ini terasa tidak begitu sulit untuk menjadi pustakawan, sejak lulus pada tahun 1999 total telah bekerja di enam tempat berbeda...namun akhir-akhir ini saya mulai berfikir untuk steady.

Kembali ke masa UMPTN dulu, sebenarnya saya pingin sekali kuliah di luar daerah untuk belajar mandiri bila jauh dari orang tua, tetapi menjadi anak bungsu ternyata menghalangi keinginan saya. Selain memang kuliah di luar daerah akan memakan banyak biaya, walaupun katanya biaya hidup lebih murah namun kenyataannya memang lebih besar seperti alokasi kost dan makan....belum lagi kalau hobinya pacaran (Alhamdulillah saya hobinya ngemil).

Saat itu sebenarnya bila bisa ke luar kota saya akan memilih Malang. Saya berjanji pada orang tua akan berjibaku untuk mendapatakan jurusan favorit di UNIBRAW sebut saja FE atau apalah, tapi tetap orang tua hanya menyisakan satu pilihan saja, yaitu Jakarta! Kalau tidak di terima di negeri ya swasta. Maaf buat IKIP (sekarang UNJ) saya tidak tertarik untuk kuliah di sana, setahu saya lulusan IKIP musti menjadi guru, namun saya tahu saya salah karena ternyata toh ada juga yang memiliki profesi selain guru, seperti seorang kenalan wartawan di salah satu majalah.

Jadi pilihan saya hanya UI atau swasta, untuk ukuran otak saya yang segini segini saja, rasa2nya agak kurang ajar bila memilih FE atau FASILKOM ya. Jadi saya fikir benar ibu saya untuk mengikuti jejak kakak, ngambil Jurusan Ilmu Perpustakaan. Apa swasta?...nggak deh saya cukup tahu diri untuk memaksa ortu merogoh kantong lebih dalam.

Tapi masa perpustakaan sih? Memang nggak ada pilihan yang lain? Belajar apa juga di sana saya tidak tahu. Ok deh taruhlah saya memilih Jurusan Ilmu Perpustakaan, tapi dia harus berada di urutan kedua (saya tidak ambil IPC saat UMPTN)

Ok lalu apa? Jurusan apa yang akan mengisi pilihan pertama saya waktu itu?....hmmm saya fikir inilah kesempatan untuk mewujudkan mimpi-mimpi ketika kecil. Lalu memori-memori lama kembali bermunculan, menguak lagi ingin jadi apa saja ketika itu.

Dokter? rasanya sudah tidak mungkin, biologi saya saja waktu kelas dua (walaupun jurusan A2) hanya dapat 6. Oh iya, saya punya cerita lucu soal A2 ini, ingat kan waktu jaman kita dulu ada empat jurusan A1 atau fisika, A2 atau biologi dan A3 atau sosial dan terakhir A4 atau bahasa. Entah sejak kapan namun kebanyakan orang mengasosiakan penjurusan dengan kecerdasan jadi Fisika berati pintar, Biologi pintar tapi tidak sepintar anak Fisika, sedangkan Sosial dan bahasa...yaaa tidak sepintar fisika dan biologi lah. Hasilnya anak fisika dan biologi lebih bergengsi di mata, siapa lagi kalau bukan orang tua, mereka anggap masa depan akan lebih terbuka lebar bila anaknya diteima antara fisika atau biologi. Padahal tahu tidak? A. Edisson penemu lampu dan pengeras suara serta ratusan temuan lainnya pernah drop out dari sekolah loh.

Saya ngomong apa sih tadi? Oh iya cerita lucu itu ya. Ok deh lanjut, ketika penjurusan dahulu saya kepingin masuk sosial (saya lupa alasannya apa) jadi saya jarang banget belajar ilmu2 yang berbau eksak, habis nggak minat sih. Tapi ajaib ketika kenaikan kelas tahu tidak??!! masa nilai biologi saya sembilan....misterius,...lord of the ring dedi kerbuser deh......sekali lagi ajaib. Walhasil jadilah saya anak biologi. Misteri tersebut akan terjawab setelah setahun saya duduk di bangku kelas biologi, ketika 17-Agustusan pada acara karnaval di kompleks, kami bertiga (saya, ibu dan kakak saya) duduk di samping rumah karena kebetulan rombongan karnaval akan lewat di jalan samping. Ketika karnaval lewat seorang ibu-ibu dengan ramahnya melambai kepada ibu saya sambil tersenyum ramah, tebak apa ??!! Ternyata ibu-ibu tersebut adalah guru biologi ketika kelas satu dahulu, dan terjawablah angka sembilan untuk biologi di rapor dulu.

Phuuuiiih balik ke soal pilihan UMPTN....jadi saya rasa bila dokter tidak mungkin tinggal beberapa profesi yang tersisa. Saya dahulu kepingin jadi pilot tapi apakah mungkin? sambil melirik nilai matematika di NEM yang jumampai (Tujuh tak sampai). Akhirnya setelah saya ingat lebih keras lagi kata detektif muncul ke permukaan....halaah halaah masa sih mau jadi detektif ??!! AKABRI aja ndak lulus. Eh tapi tunggu dulu, apa itu tiba-tiba di sudut mata terbaca jurusan KRIMINOLOGI....aha mungkinkah??!! Ya ya yaaa mungkin saja. Akhirnya seperti yang tercatat dalam sejarah Jurusan Ilmu Perpustakaan menjadi pilihan kedua setelah Kriminologi.

Kata ustadz yang namanya takdir adalah sesuatu yang telah terjadi, sedangkan untuk sesuatu yang belum terjadi tidak bisa dibilang takdir. Jadi hidup ini adalah pilihan, bagaimana saya menjalaninya (walau kadang tidak sesuai dengan keinginan) maka akan menjadi takdir saya. Sepertinya takdir saya mengatakan (seperti pada narkoba) tidak!!! pada detektif. Jadi inilah saya, seorang pustakawan di sebuah perusahaan swasta di Jakarta.

Setelah tiga tahun menjadi pustakawan ternyata nikmat loh, saya pernah bekerja di hampir segala jenis perpustakaan dari perpustakaan perguruan tinggi sampai perpustakaan khusus atau campuran antara keduanya bahkan perpustakaan dua kantor berita, yang belum sepertinya perpustakaan umum. Sepertinya, bahkan profesi pustakawan tak ubahnya dengan menjadi detektif terutama ketika sedang menelusuri data.

Bila detektif besenjatakan pistol kamera dan teropong, maka berikan saja pustakawan dokumen referens, internet dan akses online database. Anda akan dapatkan apa yang dicari...bukan omong kosong loh.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home