Perpustakaan Musnah 2019?
Kita pernah heboh dengan Alvin Toffler dan prakiraan masa depan yang berhubungan dengan teknologi manusia. Alvin Toffler dan gelombang ketiganya waktu itu membuat dunia perpustakaan khususnya pustakawan tercengang akibat prakiraannya di mana pada masa gelombang ketiga tersebut penggunaan kertas-kertas akan semakin berkurang dan pada akhirnya hilang sama sekali. Karena 99% koleksi di perpustakaan berbahan dasar kertas yang di ambil dari pohon-pohon hutan tropis dunia, pustakawan bertanya-tanya akankah perpustakaan tamat riwayatnya? akankah perpustakaan tergantikan oleh internet di mana seseorang tinggal klik "I am felling lucky" untuk mencari informasi yang dia butuhkan? dan yang paling parah, akankah profesi pustakawan hilang dari muka bumi?
Dan sekarang, 28 tahun setelah buku yang memuat ide komunitas tanpa kertas itu dilontarkan Toffler dalam bukunya The Third Wave terbitan Bantam Books. Hutan-hutan di Pulau kalimantan masih saja tercatat yang tercepat rusaknya untuk keperluan antara lain apalagi kalau bukan kertas. Walaupun e-book semakin marak namun buku-buku yang terbuat dari kertas masih mendominasi IBF (Islamic Book Fair) minggu lalu. Memang ada buku dijital tetapi itu paling-paling hanyalah Al Qur'an dijital dan kamus dijital dengan harga tak semurah Al Quran dan Kamus dalam bentuk buku.
Dan para pustakawanpun bersorak...."horeeee kami masih bisa bekerja!"
Perkiraan-perkiraan tentang masa depan, terutama di dunia barat, memang hampir pasti selalu memasukkan perpustakaan adalah sebuha produk masa lalu yang seharusnya sudah tidak ada lagi di masa modern. Perpustakaan memang hampir ada dalam setiap peradaban ribuan tahun yang lalu bahkan beberapa di antaranya menjadi terkenal dan melegenda, sebut sebut saja Perpustakaan para khalifah dinasti Fatimiyah di Kairo. Jumlah seluruh buku yang ada di situ mencapai 2.000.000 (dua juta) eksemplar. Perpustakaan ini berisi berbagai macam ilmu antara lain Al-Qur’an, astronomi, tata bahasa, lexicography dan obat-obatan.
Atau perpustakaan Alexandria (perpustakaan Iskandarsyah) siapa yang tidak pernah mendengar kisah perpustakaan tersebut bahkan bagi anda yang bukan pustakawan dan bukan juga pecinta sejarah. Konon, perpustakaan ini memiliki 700.000 gulungan papirus. Sebagai perbandingan, pada abad ke-14, Perpustakaan Sorbonne yang katanya memiliki koleksi terbesar dizamannya hanya memiliki 1700 buku. Para penguasa Mesir begitu bersemangat untuk memperbanyak koleksi mereka sampai-sampai mereka memerintahkan prajurit untuk menggeledah setiap kapal yang masuk guna memperoleh naskah. Jika ada naskah yang ditemukan, mereka menyimpan yang asli dan mengembalikan salinannya. Menurut beberapa sumber, ketika Athena meminjamkan naskah-naskah drama klasik Yunani asli yang tak ternilai kepada Ptolemeus III, ia berjanji membayar uang jaminan dan menyalinnya. Tetapi sang raja malah menyimpan yang asli, tidak mengambil kembali uang jaminan itu, dan memulangkan salinannya.
Apa yang menyatukan semua perpustakaan besar itu dalam sejarah sampai dengan perpustakaan modern yang masih berdiri sampai detik ini di tengah-tengah kita? adalah kertas jawabnya. Semua informasi dan data sejak ribuan tahun lalu di simpan di atas kertas atau saudara kandungnya smcm papiris dan daun lontar. Namun pada intinya untuk penyimpanan kebijksanaan setiap peradaban masih belum ditemukan bahan yang lebih baik selain itu.
Sejak ditemukannya komputer sampai saat ini memang jutaan informasi disimpan dalan server-sever yang saling berhubungan berbentuk file-file dijital. Perpustakaan memang tidak buta akan hal itu bahkan hampir seluruh perpustakaan memanfaatkan perkembangan baru ini guna melancarkan apa yang disebut dengan pelayanan perpustakaan. Namun, siapa yang bisa menjamin bahwa file-file yang disimpan saat ini maish bisa terbaca oleh mesin-mesin yang akan ditemukan pada masa-masa mendatang.
Lalu, tentang Richard Watson mirip-miriplah dengan Avlin Toffler namun bergaya seperti cenayang dia mencoba lebih spesifik meramalkan kejadian perkembangan peradaban manusia yang sepertinya tidak hanya berhubunagn dengan ilmu pengetahuan, namun hampir ke semua aspek POLEKSUSBUD, membuat saya berfikir...apa bedanya Richard Watson dengan Mama Laurent bila begitu. Dia menuangkan idenya tentang masa depan peradaban manusia tersebut ke dalam "extinction timeline".
Di dalamnya anda akan menemukan beberapa hal yang menurutnya akan musnah sebelum tahun 2050. Dan, tebakan anda tepat sekali, perpustakaan memang termasuk salah satu hal yang ikut musnah, tepatnya menurut R, Watson pada 2019 adalah kain kafan perpustakaan diikat untuk pd akhirnya dikuburkan. Sayang untuk mengetahui alasannya lebih lanjut kenapa memasukkan perpustakaan menjadi almarhum saya harus membaca bukunya yang berjudul Future Files: A History of the Next 50 Years kabarnya menjadi buku hits dan sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Cina segala. Untuk itu saya juga mencoba membuka blog Richard Watson untuk mengetahui....alasan sebenarnya...kenapa perpustakaan harus mati, namun juga tidak dapat saya temukan.
Namun tebakan kasar saya, bahwa saat itu menurut Si Richard udah ga jaman lagi apa yang namanya buku apalagi kertas. Karena era elektronik sudah meraja hingga di mana mana orang hanya perlu seperangkat alat elektronik sebesar telapak tangan untuk menyimpan data tera-an byte.
Selain perpustakaan juga beberapa hal yang menurutnya akan musnah sebelum tahun 2050 adalah (maaf dalam Bahasa Inggris saja ya) :
2009: Mending things
2014: Getting lost
2016: Retirement
2019: Libraries
2020: Copyright
2022: Blogging, Speleeng, The Maldives
2030: Keys
2033: Coins
2036: Petrol engined vehicles
2037: Glaciers
2038: Peace & Quiet
2049: Physical newspapers, Google
Beyond 2050: Uglyness, Nation States, Death
Benarkan begitu? tentu saja jangan anggap pemikiran R. Watson ini terlalu serius. Coba tebak apa? saya rasa sampai dengan tahun 2051 pustakawan masih akan berteriak "horeeee kami masih bisa bekerja!"
Dan sekarang, 28 tahun setelah buku yang memuat ide komunitas tanpa kertas itu dilontarkan Toffler dalam bukunya The Third Wave terbitan Bantam Books. Hutan-hutan di Pulau kalimantan masih saja tercatat yang tercepat rusaknya untuk keperluan antara lain apalagi kalau bukan kertas. Walaupun e-book semakin marak namun buku-buku yang terbuat dari kertas masih mendominasi IBF (Islamic Book Fair) minggu lalu. Memang ada buku dijital tetapi itu paling-paling hanyalah Al Qur'an dijital dan kamus dijital dengan harga tak semurah Al Quran dan Kamus dalam bentuk buku.
Dan para pustakawanpun bersorak...."horeeee kami masih bisa bekerja!"
Perkiraan-perkiraan tentang masa depan, terutama di dunia barat, memang hampir pasti selalu memasukkan perpustakaan adalah sebuha produk masa lalu yang seharusnya sudah tidak ada lagi di masa modern. Perpustakaan memang hampir ada dalam setiap peradaban ribuan tahun yang lalu bahkan beberapa di antaranya menjadi terkenal dan melegenda, sebut sebut saja Perpustakaan para khalifah dinasti Fatimiyah di Kairo. Jumlah seluruh buku yang ada di situ mencapai 2.000.000 (dua juta) eksemplar. Perpustakaan ini berisi berbagai macam ilmu antara lain Al-Qur’an, astronomi, tata bahasa, lexicography dan obat-obatan.
Atau perpustakaan Alexandria (perpustakaan Iskandarsyah) siapa yang tidak pernah mendengar kisah perpustakaan tersebut bahkan bagi anda yang bukan pustakawan dan bukan juga pecinta sejarah. Konon, perpustakaan ini memiliki 700.000 gulungan papirus. Sebagai perbandingan, pada abad ke-14, Perpustakaan Sorbonne yang katanya memiliki koleksi terbesar dizamannya hanya memiliki 1700 buku. Para penguasa Mesir begitu bersemangat untuk memperbanyak koleksi mereka sampai-sampai mereka memerintahkan prajurit untuk menggeledah setiap kapal yang masuk guna memperoleh naskah. Jika ada naskah yang ditemukan, mereka menyimpan yang asli dan mengembalikan salinannya. Menurut beberapa sumber, ketika Athena meminjamkan naskah-naskah drama klasik Yunani asli yang tak ternilai kepada Ptolemeus III, ia berjanji membayar uang jaminan dan menyalinnya. Tetapi sang raja malah menyimpan yang asli, tidak mengambil kembali uang jaminan itu, dan memulangkan salinannya.
Apa yang menyatukan semua perpustakaan besar itu dalam sejarah sampai dengan perpustakaan modern yang masih berdiri sampai detik ini di tengah-tengah kita? adalah kertas jawabnya. Semua informasi dan data sejak ribuan tahun lalu di simpan di atas kertas atau saudara kandungnya smcm papiris dan daun lontar. Namun pada intinya untuk penyimpanan kebijksanaan setiap peradaban masih belum ditemukan bahan yang lebih baik selain itu.
Sejak ditemukannya komputer sampai saat ini memang jutaan informasi disimpan dalan server-sever yang saling berhubungan berbentuk file-file dijital. Perpustakaan memang tidak buta akan hal itu bahkan hampir seluruh perpustakaan memanfaatkan perkembangan baru ini guna melancarkan apa yang disebut dengan pelayanan perpustakaan. Namun, siapa yang bisa menjamin bahwa file-file yang disimpan saat ini maish bisa terbaca oleh mesin-mesin yang akan ditemukan pada masa-masa mendatang.
Lalu, tentang Richard Watson mirip-miriplah dengan Avlin Toffler namun bergaya seperti cenayang dia mencoba lebih spesifik meramalkan kejadian perkembangan peradaban manusia yang sepertinya tidak hanya berhubunagn dengan ilmu pengetahuan, namun hampir ke semua aspek POLEKSUSBUD, membuat saya berfikir...apa bedanya Richard Watson dengan Mama Laurent bila begitu. Dia menuangkan idenya tentang masa depan peradaban manusia tersebut ke dalam "extinction timeline".
Di dalamnya anda akan menemukan beberapa hal yang menurutnya akan musnah sebelum tahun 2050. Dan, tebakan anda tepat sekali, perpustakaan memang termasuk salah satu hal yang ikut musnah, tepatnya menurut R, Watson pada 2019 adalah kain kafan perpustakaan diikat untuk pd akhirnya dikuburkan. Sayang untuk mengetahui alasannya lebih lanjut kenapa memasukkan perpustakaan menjadi almarhum saya harus membaca bukunya yang berjudul Future Files: A History of the Next 50 Years kabarnya menjadi buku hits dan sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Cina segala. Untuk itu saya juga mencoba membuka blog Richard Watson untuk mengetahui....alasan sebenarnya...kenapa perpustakaan harus mati, namun juga tidak dapat saya temukan.
Namun tebakan kasar saya, bahwa saat itu menurut Si Richard udah ga jaman lagi apa yang namanya buku apalagi kertas. Karena era elektronik sudah meraja hingga di mana mana orang hanya perlu seperangkat alat elektronik sebesar telapak tangan untuk menyimpan data tera-an byte.
Selain perpustakaan juga beberapa hal yang menurutnya akan musnah sebelum tahun 2050 adalah (maaf dalam Bahasa Inggris saja ya) :
2009: Mending things
2014: Getting lost
2016: Retirement
2019: Libraries
2020: Copyright
2022: Blogging, Speleeng, The Maldives
2030: Keys
2033: Coins
2036: Petrol engined vehicles
2037: Glaciers
2038: Peace & Quiet
2049: Physical newspapers, Google
Beyond 2050: Uglyness, Nation States, Death
Benarkan begitu? tentu saja jangan anggap pemikiran R. Watson ini terlalu serius. Coba tebak apa? saya rasa sampai dengan tahun 2051 pustakawan masih akan berteriak "horeeee kami masih bisa bekerja!"
Klik Gambar untuk lebih besar
Baca Juga
Alvin Toffler
Mengenang jayanya perpustakaan
Blognya Si Richard Watson
Artikel tentang "Extinction Timeline"
6 Comments:
ya pustakawan nggak boleh mati donk. rugi negara :) hehehe.. met long wiken, bhi!
Blogging musnah 2022 ya. Ah, mama lauren ... Interesting post. Salam.
hehehehe...ada saingan alvi toffler juga..baru tau....
ini namanya papa lauren! hahahaha
articles of interest to read ...:)
articles of interest to read ...:)
pustakawan itu mengelola informasi dan pengetahuan itu yang utama!!!
Post a Comment
<< Home